Makna
pembangunan nasional
Sejak tahun
1970 pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Sejak tahun
tersebut
muncul pandangan baru yaitu tujuan utama dari usaha-usaha
pembangunan
ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang
setinggi-tingginya,
melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan,
penanggulangan
ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam
konteks
perekonomian yang terus berkembang (Todaro 2004: 21). Sesuai dengan
tujuan
pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak
berhasil
apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan
pendapatan
serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya.
Untuk mengukur
keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan
tolok ukur
ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator
sosial (non
ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan,
kondisi-kondisi
dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan
perumahan .
Selanjutnya menurut Todaro, ada tiga nilai inti dari pembangunan
yaitu :
31
32
1. Kecukupan
yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan
dasar (basic
needs) yang meliputi pangan, sandang, papan,
kesehatan
dan keamanan.
2. Jati diri,
menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya
dorongan-dorongan
dari diri sendiri untuk maju , untuk menghargai diri
sendiri, untuk
merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar
sesuatu.
3. Kebebasan
dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan di sini
hendaknya
diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak
sehingga tidak
diperbudak oleh pengejaran aspek- aspek materiil dalam
kehidupan
Lebih lanjut
Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang
sebagai suatu
proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan
mendasar atas
struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi
nasional, di
samping mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi, penanganan
ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
Menurut Sen
dalam Ackerman (2000: 154-155) berpendapat bahwa
kapabilitas
untuk dapat berfungsi (capabilities to function) adalah
yang paling
menentukan
status miskin atau tidaknya seseorang. Selanjutnya menurut Sen
pertumbuhan
ekonomi dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan
akhir.
Pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas
kehidupan yang
dijalani dan kebebasan yang dinikmati. Dengan demikian tingkat
kemiskinan
tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan atau bahkan dari utilitas
seperti
pemahaman konvensional; yang paling penting bukanlah apa yang
33
dimiliki
seseorang ataupun kepuasan yang ditimbulkan dari barang-barang
tersebut,
melainkan apakah yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan barangbarang
tersebut. yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan bukan hanya
karakteristik
komoditi yang dikonsumsi, seperti dalam pendekatan utilitas, tetapi
manfaat apa
yang dapat diambil oleh konsumen dari komoditi-komoditi tersebut
(Todaro, 2004:
22). Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan
pembangunan
ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya
kemampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs),
2.
Meningkatnya
rasa harga diri (self-esteem)
masyarakat sebagai manusia, dan
3.
Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom
from
servitude).
Sementara itu
Swasono (2004 a.: 13) dalam bukunya berjudul Kebersamaan
dan
Asas Kekeluargaan mengatakan Pembangunan ekonomi berdasarkan
Demokrasi
Ekonomi adalah pembangunan yang partisipatori dan sekaligus
emansipatori.
Selanjutnya Swasono mengatakan bahwa pembangunan ekonomi
bukan saja
berarti kenaikan pendapatan, tetapi juga kenaikan pemilikan
(entitlement).
Pembangunan ekonomi bukan hanya koelie yang naik upah /
gajinya,
tetapi adalah meningkat / meluasnya pemartabatan, pengingkatan nilaitambah
ekonomi dan
sekaligus nilai tambah sosial-kultural, sang koelie menjadi
mitra usaha
dalam system triple co, yaitu co-owwnership
(ikut memiliki), codetermination
(ikut
menggariskan wisdom) dan co-responsibility
(ikut
bertanggungjawab)
34
Dengan
demikian :
“Development
is social progress. Development is growth and
resdistribution.,
Development is expansion of people’s participation
and
emancipation, development is expansion of people’s
creativity,
development is people’s entitlement. Development
produces
economic added- value and at once socio-cultural addedvalue
as
well"
Menurut Human
Development Report (2000: 3 b.) menyatakan:
“Development
should begin with the fulfillment of the basic
material
needs of an individual including food, clothing, and
shelter,
and gradually reach the highest level of self-fulfillment.
The
most critical form of self-fulfillment include leading a long and
healthy
life, being educated, and enjoying a decent standard of
living.
Human development is a multidimensional concept
comparising
four demension, economic, social-psyhological,
political
and spiritual.
Oleh karena
itu pembangunan manusia tidak hanya mencakup pemenuhan
kebutuhan
pokok saja, melainkan merupakan konsep multidemensi; yaitu
gabungan
antara 4 demensi; demensi ekonomi, sosial-psichologi, politik dan
spiritual.
2.1.1.1.
Tujuan Inti dan Strategi Pembangunan
Pembangunan
merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu
masyarakat
untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi
proses sosial,
ekonomi dan institusional, demi mencapai kehidupan yang serba
lebih baik.
Untuk mencapai “kehidupan yang serba lebih baik” semua masyarakat
minimal harus
memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut (Todaro, 2000: 24)
1. Peningkatan
ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam
barang
kebutuhan hidup yang pokok , seperti pangan , sandang, papan,
kesehatan dan
perlindungan keamanan.
35
2. Peningkatan
standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan
pendapatan
tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja,
perbaikan
kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilainilai
kultural dan
kemanusiaan, yang kesemua itu tidak hanya untuk
memperbaiki
kesejahteraan materiil , melainkan juga menumbuhkan jati
diri pribadi
dan bangsa yang bersangkutan.
3. Perluasan
pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta
bangsa secara
keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari
belitan sikap
menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap
orang atau
negara, bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan
yang
berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Dalam
relevansinya dengan Pembangunan Nasional Dimensi
Pembangunan
Nasional menurut Swasono, (2005:
22) adalah merupakan suatu
prosesdaridemokrasi
baik secara politik (political democratization),
sosial
maupun ekonomi
(economic democratization) untuk mencapai
kemajuan
(progress),
kebebasan (freedom) serta mengurangi
hambatan (elimination of
freedom),
di mana proses ini juga merupakan proses dari humanisasi.Di samping
itu
menumbuhkan pendapatan nasional (Growth)
melalui penciptaan lapangan
kerja untuk
mengurangi bahkan menghapus pengangguran dan kemiskinan.
Dengan
demikian masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokoknya / basic
needs
(ILO, 1976, dalam World Development
Report,1995) serta negara mampu
menjamin hajad
hidup orang banyak (Hatta, 1967). Sementara itu menurut
Rostow dalam
Arief (1998: 21) pembangunan ekonomi merupakan suatu proses
yang
menimbulkan perubahan dalam kehidupan perekonomian, politik dan sosial
36
masyarakat.
Adapun proses pembangunan menurut Rostow terdiri dari 5 tahap
yaitu: 1.
tahap masyarakat tradisional. 2 tahap prasayarat tinggal landas (precondation
to
take of), 3 tahap tinggal landas (take
off), 4 Tahap gerakan kearah
kedewasaan (maturity),
5 Tahap konsumsi tinggi (mass consumption).
Selanjutnya
Rostow memfokuskan anlisisnya pada tahap tinggal landas. Proses
tinggal landas
terjadi pada dua situasi system kemasyarakatan; yaitu pada sistem
masyarakat
yang sudah ada dan teratur (settled society)
dan pada sistem
kemasyarakatan
yang baru saja berdiri (newly settled society)
Menurut
Swasono (2005: 23) dasar strategi pembangunan nasional Indonesia
meliputi:
1.
Transformasi sosial ekonomi, Pasal 33 dan Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945
3. Meraih
nilai-tambah ekonomi, dan sekaligus nilai-tambah sosial-kultural
dan
nilai-tambah ketahanan nasional.
4. Dignity,
proses mencapai kecerdasan hidup bangsa.
5. Memperkukuh
national intergration
6.
Pancasilanisasi: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri (bukan lagi ein Nation
von Kuli und
Kuli unter den Nationen).
Sejak
dideklarasikan pada KTT Perserikatan Bangsa Bangsa, pada tahun
2000, Tujuan
Pembangunan Milennium (Milennium Development Goal /MDG)
menjadi acuan
bagi pembangunan baik oleh negara maju maupun negara
berkembang.
Ada 8 goal / tujuan yang hendak dicapai yaitu (Human
Development
Report
2003 : 1-2) :
1. Eradicate
extreme overty and hungger
2. Achieve
universal primary education.
3. Promote
gender equality and empowerment
4. Reduce
child mortality
5. Improve
maternal health
6. Combat HIV
/ AIDS, malaria and other disease
7. Ensure
invironmental sustainability
8. Develop a
global partnership for development.
37
Adapun tujuan
Pembangunan Milennium yang diterapkan di Indonesia meliputi
8 tujuan
(Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals
Indonesia
2005: 45) yaitu :
1.
Menaggulangi Kemiskinan Dan Kelaparan.
Dengan target
:
a. Menurunkan
proporsi penduduk yang tingkatannya di bawah $ 1
per hari
menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015
b. Menurunkan
proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi
setengahnya
antara tahun 1990-2015
2. Mencapai
Pendidikan Dasar Untuk Semuanya.
Dengan target
:
Memastikan
pada tahun 2015 semua anak di manapun, laki-laki
maupun
perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
3. Mendorong
Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.
Dengan target
: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan
dasar dan
lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak
lebih dari
tahun 2015
4. Menurunkan
Angka Kematian Anak
Dengan target
: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua
pertiganya,
antara tahun 1990 dan 2015
5.
Meningkatkan Kesehatan Ibu.
Dengan target
: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya
antara tahun
1990-2015.
6 Memerangi
HIV / AIDS dan Penyakit Menular Lainnya
Dengan target
:
a.
Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya
jumlah kasus
baru pada 2015
c.
Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah
kasus malaria
dan penyakit lainnya.
7. Memastikan
Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Dengan target
:
a. Memadukan
prisip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan
kebijakan dan program nasional.
b. Penurunan
sebesar separuh penduduk tanpa akses terhadap
sumber air
minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas
sanitasi dasar
pada tahun 2015.
c. Mencapai
perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk
miskin di
pemukiman kumuh pada tahun 2020
8. Membangun
Kemitraan Global untuk Pembangunan
2.1.2.
Teori Kesejahteraa Masyarakat, Kriteria Keluarga Sejahtera dan
Konsep
Kemiskinan.
38
2.1.2.1.
Teori kesejahteraan masyarakat dan Kriteria keluarga sejahtera
Sen, (2002: 8)
mengatakan bahwa welfare economics merupakan
suatu
proses
rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh
kemajuan.
Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat
kehidupan (levels
of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic
needs
fulfillment),
kualitas hidup (quality of life)
dan pembangunan manusia (human
development).
Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability
approach
didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the
freedom or
ability
to achieve desirable “functionings” is more importance than actual
outcomes.
Nicholson
(1992:177), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan
sosial; yaitu
keadaan kesejahteraan sosial maksimum tercapai bila tidak ada
seorangpun
yang dirugikan.
Sementara itu
Bornstein dalam Swasono, mengajukan “ performance
criteria
“ untuk social welfare dengan
batasan- batasan yang meliputi ; output,
growth,
efficiency, stability,
security, inequality,
dan freedom, yang harus
dikaitkan
dengan suatu social preference.(Swasono
2004, b: 23). Sedangkan
Etzioni, A.
(1999: 15) , mengatakan bahwa privacy is a
societal licence, yang
artinya privivacy
orang-perorangan adalah suatu mandated
privacy dari
masyarakat, dalam
arti privacy terikat oleh
kaidah sosial. Dengan demikian
kedudukan
individu adalah sebagai makhluk sosial yang harus ditonjolkan dalam
ilmu ekonomi
utamanya dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan menuju
kesejahteraan
masyarakat.
39
Menurut BKKBN
(Badan koordinasi Keluarga Berencana Nasional,
Kesejahteraan
keluarga digolongan kedalam 3 golongan; yaitu :
Keluarga
Sejahtera Tahap I dengan kriteria sebagai berikut :
1. Anggota
keluarga melaksanakan ibadah agama
2. Pada
umumnya anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
3. Anggota
keluarga memiliki pakaian berbeda dirumah / pergi/bekerja /
sekolah.
4. Bagian
lantai yang terluas bukan dari tanah.
5. Anak sakit
ataupun pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber KB dibawa
kesarana
kesehatan.
Keluarga Sejahtera
Tahap II, meliputi :
1. Anggota
keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur
2. Paling
kurang sekali seminggu lauk daging / ikan / telur
3. Setahun
terakhir anggota keluarga menerima satu stel pakaian baru
4. Luas lantai
paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni
5. Tiga bulan
terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan dapat
melaksanakan
tugas
6. Ada anggota
keluarga umur 15 tahun keatas berpenghasilan tetap.
7. Anggota
keluarga umur 10 – 60 th. bisa baca tulis latin
8. Anak umur 7
– 15 th. bersekolah
9. PUS dengan
anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi
Keluarga
Sejahtera Tahap III, meliputi
1. Keluarga
berupaya meningkatkan pengetahuan agama
2. Sebagian
penghasilan keluarga ditabung
3. Keluarga
makan bersama paling kurang sekali sehari untuk berkomunikasi
4. Keluarga
sering ikut dalam kegiatan mesyarakat dilingkungan tempat
tinggal.
5 Keluarga
rekreasi bersama paling kurang sekali dalam enam bulan.
6. Keluarga
memperoleh berita dari surat kabar/majalah/TV/radio.
7. Anggota
keluarga menggunakan sarana transportasi setempat.
Keluarga
Sejahtera Tahap III Plus, meliputi :
1. Keluarga
secara teratur memberikan sumbangan
2. Ada anggota
keluarga yang aktif sebagai pengurus yayasan / institusi
masyarakat
40
2.1.2.2.
. Konsep dan definisi kemiskinan
Memerangi
kemiskinan merupakan salah satu tujuan dari pembangunan
ekonomi.
Secara umum kemiskinan mempunyai arti ketidakmampuan seseorang
untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan non fisik (Tjiptoherijanto,1997: 76).
Menurut Lewis,
A. (dalam Suparlan, 1993: 5), memandang kemiskinan dan cirricirinya
sebagai suatu
kebudayaan atau sebagai suatu sub kebudayaan dengan
struktur dan
hakikatnya yang tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang
diwarisi dari
generasi ke generasi melalui garis keluarga.(Suparlan, 1993: 4–5).
Pandangan ini
menyatakan bahwa kebudayaan kemiskinan di negara-negara
modern bukan
hanya menyangkut masalah kelumpuhan ekonomi, masalah
disorganisasi
atau masalah kelangkaan sumber daya, melainkan di dalam
beberapa hal
juga bersifat positif karena memberikan jalan ke luar bagi kaum
miskin untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Selanjutanya Lewis,
mendefinisikan
kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau
penyesuaian,
dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap
kedudukan
marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat
individualistis,
dan berciri kapitalisme.
Kebudayaan
Kemiskinan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi
rasa putus asa
dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dari kesadaran
bahwa mustahil
dapat meriah sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai
dan tujuan
masyarakat yang lebih luas. Sekali kebudayaan tersebut tumbuh, ia
cenderung
melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melalui pengaruhnya
terhadap
anak-anak. Kemiskinan menurut Suparlan (1993: 3), adalah suatu standar
tingkat hidup
yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada
41
sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang
umum berlaku
dalam masyarakat bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah
ini secara
langsung tampak pengaruhnya terhadap kesehatan, kehidupan moral
dan rasa harga
diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Menurut Kadir,
(1993: 5) kemiskinan adalah situasi serba kekurangan
yang terjadi
bukan karena dikehendaki oleh si miskin melainkan karena tidak
bisa dihindari
dengan kekuatan yang ada padanya. Hal ini disebabkan
terbatasnya
modal yang mereka miliki dan rendahnya pendapatan mereka.
Sehingga akan
mengakibatkan terbatasnya kesempatan mereka untuk
berpartisipasi
dalam pembangunan.
Menurut
Mubyarto, (1990: 159) , golongan miskin adalah golongan
yang rawan
pangan yang berpengaruh negatif terhadap produktifitas kerja
dan angka
kematian balita. Menurut Salim (1984: 61), mendifinisikan
golongan
miskin adalah mereka yang berpendapatan rendah karena
rendahnya
produktifitas, di mana rendahnya tingkat produktifitas disebabkan
oleh :
1. tidak
memiliki asset produksi
2. lemah jasmani
dan rohani.
Simanjuntak,
.(1993), berpendapat bahwa kemiskinan menyebabkan seseorang
tidak dapat
memenuhi kebutuhan primer seperti makan, pakaian, perumahan,
kesehatan,
perumahan, kesehatan dengan memadai.
Menurut World
Health Organization, (world Bank,1995),
kemiskinan
ditentukan
oleh tingkat pendapatan seseorang, di mana pendapatan tersebut dapat
memenuhi
kebutuhan mendasar bagi kehidupannya. Kemiskinan juga dapat
42
dikatakan
timbul karena pendapatan yang rendah, namun demikian ada negara
yang pendapatan
per kapitanya cukup tinggi akan tetapi tingkat kemiskinannya
juga tinggi.
Hal ini dimungkinkan karena distribusi pendapatanya kurang merata.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita
suatu
masyarakat, semakin kecil proporsi penduduk yang berpendapatan di bawah
garis
kemiskinan. Namun perlu diingat bahwa di samping tergantung pada
pendapatan
perkapita, besarnya persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan
tergantung juga pada distribusi pendapatan. Semakin tidak merata
distribusi
pendapatan semakin besar pula penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan
atau semakin tinggi persentase penduduk yang miskin.
Distribusi
pendapatan Indonesia tergolong kurang baik. Hal ini disebabkan
distribusi
pemilikan modal per provinsi yang kurang atau bahkan tidak merata.
Sebagian
terbesar dana yang tersedia terkonsentrasi di Jawa; yaitu 64% dikuasai
DKI, 8%
dikuasai Jawa Timur (6% di antaranya berada di Surabaya dan 2%
tersebar di 36
daerah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur), 6% berada di Jawa –
Barat 5,5%
berada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
selebihnya
(16,5%) tersebar di seluruh provensi di luar Jawa, (Zadjuli,
1993: 6).
2.1.3.
Ciri-ciri dan Ukuran Kemiskinan
2.1.3.1.
Ciri-ciri kemiskinan
Ciri – ciri
kemiskinan pada umumnya dipaparkan sebagai berikut :
a. Salim
(1984: 63.) memberikan ciri – ciri kemiskinan sebagai berikut :
1. mereka yang
tidak mempunyai faktor produksi sendiri (seperti tanah,
modal dan
keterampilan)
2. tidak
memiliki kemungkinan untuk memiliki asset produksi dengan
kekuatan
sendiri.
43
3. rata-rata
pendidikan mereka rendah.
4. sebagian
besar mereka tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai
buruh tani.
yang tinggal di kota kebanyakan mereka yang berusia
muda dan tidak
memiliki keterampilan dan pendidikannya rendah.
b. Menurut
Juoro, (1985: 8), golongan miskin yang tinggal di kota ialah
mereka yang
hidup di suatu perekonomian yang biasa disebut slum.
Mereka
bukanlah gelandangan karena mempunyai pekerjaan, tempat tinggal,
aturan hidup bermasyarakat
dan memiliki aspirasi.
c. Menurut
Tumanggor dalam Ismail (1999: 3), cirri-ciri masyarakat yang
berpengahasilan
rendah / miskin adalah :
1. pekerjaan
yang menjadi mata pencarian mereka umumnya merupakan
pekerjaan yang
menggunakan tenaga kasar.
2. nilai
pendapatan mereka lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah
jam kerja yang
mereka gunakan
3. nilai
pendapatan yang mereka terima umumnya habis untuk membeli
kebutuhan
pokok sehari-hari.
4. karena
kemampuan dana yang sangat kurang, maka untuk rekreasi,
pengobatan,
biaya perumahan, penambahan jumlah pakaian semuanya
itu hampir
tidak dapat dipenuhi sama sekali.
Selain
ciri-ciri kemiskinan seperti tersebut di atas, kemiskinan sering juga
digolongkan
dalam beberapa macam kemiskinan. Di antaranya adalah ke dalam
dua macam
kemiskinan yaitu; kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan
absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan membandingkan
tingkat
pendapatan orang perseorangan atau keluarga dengan tingkat pendapatan
yang
dibutuhkan untuk memperoleh Kebutuhan Dasar Minimum (KDM).Di
sini tingkat
pendapatan minimum akan merupakan pembatas antara keadaan
miskin dan
tidak miskin atau disebut sebagai Garis Kemiskinan. Perkiraan Garis
Kemiskinan
dengan menggunakan konsep KDM ini merupakan suatu yang statis
sifatnya.
Perkembangan Garis Kemiskinan biasanya disesuaikan menurut indeks
kemiskinan, di
mana tingkat kehidupan penduduk miskin sama sekali tidak
44
mengalami
perubahan, sementara itu golongan penduduk yang lain tingkat
kehidupannya
telah meningkat. Kesulitan utama dalam konsep Kemiskinan
Absolut adalah
menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena
kedua hal
tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja melainkan
juga oleh
iklim, tingkat kemajuan suatu negara, dan berbagai faktor lainnya.
Konsep
kemiskinan relatif didasari kenyataan bahwa orang yang sudah
mempunyai
tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum
tidak selalu
berarti “ tidak miskin “. Sekalipun pendapatan telah mencapai
tingkat
kebutuhan minimun, namun apabila pendapatan orang tersebut masih jauh
lebih rendah
daripada masyarakat di sekitarnya, maka orang tersebut masih dalam
keadaan
miskin.
Sementara itu
menurut Azhari (1992: 32), menggolongkan kemiskinan
kedalam tiga
macam kemiskinan yaitu :
1. Kemiskinan
alamiah
Kemiskinan
yang timbul sebagai akibat sumber daya yang langka
jumlahnya,
atau karena perkembangan tingkat tehnologi yang sangat
rendah.
Termasuk didalamnya adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk
yang melaju
dengan pesat di tengah- tengah sumber daya alam yang tetap.
2. Kemiskinan
struktural
Kemiskinan
yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial
sedemikian rupa, sehingga masyarakat itu tidak dapat menggunakan
sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Kemiskinan
struktural ini terjadi karena kelembagaan yang ada membuat
anggota atau
kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan
fasilitas-
fasilitas secara merata. Dengan perkataan lain kemiskinan ini
tidak ada
hubungannya dengan kelangkaan sumber daya alam.
3. Kemiskinan
kultural
Kemiskinan
yang muncul karena tuntutan tradisi / adat yang membebani
ekonomi
masyarakat, seperti upacara perkawinan, kematian atau pesta
pesta adat
lainnya.termasuk juga dalam hal ini sikap mentalitas penduduk
yang lamban,
malas, konsumtif serta kurang berorentasi kemasa depan.
45
2.1.3.2.
Ukuran Kemiskinan
Untuk mengukur
kemiskinan ada beberapa konsep atau ukuran, diantaranya
adalah :
a. Menurut Azizy,
A.Qodri dalam Zadjuli (2007), ukuran garis kemiskinan
ataupun garis
kemakmuran menurut Islam dapat dianalisis melalui:
1. penerimaan
sebagai berikut:
Y r
= C r + S + T + (X – M) + Z
r .
di mana: Y r
= jumlah penerimaan/pendapatan
C r
= pendapatan sektor keluarga
S = saving
T = tax
X = expor
M = impor
Z r
= zakat, infaq dan shodaqoh
3. pengeluaran
sebagai berikut:
Y e
= C e + I + Ge
+ (X – M) + Ze
di mana: Y e
= jumlah pengeluaran
C e
= pengeluaran sektor keluarga
I = investasi
swasta
G e
= pengeluaran pemerintah
M = impor
Z e
= pengeluaran zakat, infaq dan shodaqoh.
Untuk
menentukan garis kemiskinan/garis kemakmuran dapat digambarkan
secara grafis
pada Gambar 2.1. sebagai berikut:
Sumber
: Zadjuli, Reformasi
Ilmu Pengetahuan dan Perspektif Ekonomi Islam
Di
Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Airlangga,
Gambar 2.1: GARIS
KEMISKINAN DAN KEMAKMURAN
1991
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
30
25
20
15
10
Ci
d cp 1991
Ci
f cp 2004
Co
d cp 1991
Co
f cp 2004
NS
NS
G
Kma Yc1 = Co +
G
Kma Yc1= Co +
G
Kml
G
Kml
Y
(juta Rp)
Tahun
46
MENURUT
ISLAM
Keterangan: Y
= Gross National Product
C0
= Autonomous National Consumption
Ci
= Induced National Consumption
NS = 1 Nishaf
= 94 gram emas murni
G Kma = Garis
kemakmuran
G Kmi = Garis
Kemiskinan
b. Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemiskinan
diukur dengan menggunakan dasar kebutuhan fisik minimal
(physical
quality of life index).
c. Menurut
Bank Dunia
Suatu
masyarakat dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapitanya
setara dengan
1/3 dari pendapatan nasional per kapita.
d. Menurut
BAPPENAS Tahun 1990, kemiskinan diukur dengan menggunanakan
ukuran dasar
barang setara dengan 30 Kg beras per kapita per bulan
untuk
masyarakat perkotaan (Zadjuli, 1993: 9).
e. Ukuran
kemiskinan juga sering dihubungkan dengan Kebutuhan layak
Hidup (KHL)
per kapita atau Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) per
kapita
Masyarakat. (BPS: 2001)
2.1.4.
Kualitas Hidup ( quality of life )
Menurut United
Nation Devevelopment Programme (UNDP) tahun 1990,
pembangunan
manusia baik di tingkat global , tingkat nasional maupun daerah
ditekankan
pada pembangunan yang berpusat pada manusia yang menempatkan
manusia
sebagai tujuan akhir dari pembangunan dan bukan sebagai alat
pembangunan.
Berbeda dengan konsep pembangunan yang mengutamakan
pertumbuhan
ekonomi, dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi pada
47
akhirnya akan
menguntungkan manusia, Di sini pembangunan manusia
memperkenalkan
konsep yang lebih luas dan lebih komprehensif yang mencakup
semua pilihan
yang dimiliki oleh manusia di semua golongan masyarakat
pada semua
tahap pembangunan.Konsep pembangunan manusia adalah (Laporan
Pembangunan
Manusia , BPS 2001 ):
“ Manusia
adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya.
Tujuan utama
dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan
yang
memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur
panjang, sehat
dan menjalankan kehidupan yang produktif ”
Konsep
pembangunan manusia ini kelihatannya sederhana akan tetapi seringkali
terlupakan
oleh berbagai kesibukan jangka pendek untuk mengumpulkan harta
dan uang,
bahkan seringkali manusia tidak lagi dianggap sebagai asset yang perlu
diberdayakan
melainkan dianggap sebagai beban pembangunan (Swasono, 2001).
Pada
hakekatnya pembangunan manusia dan hak asasi manusia mempunyai
kesamaan visi
dan tujuan, (Human Development Report 2000:
1) yaitu untuk :
1. Kebebasan
dari diskriminasi berdasarkan jender, ras, etnis, asal
negara atau
agama
2. Kebebasan
dari kekurangan untuk dapat menikmati kehidupan yang
layak.
3. Kebebasan
untuk berkembang dan mengembangkan potensinya.
4. Kebebasan
dari rasa takut dari ancaman terhadap keselamatan diri
penyiksaan,
penangkapan yang sewenang – wenang dan tindakan
kekerasan
lainnya.
5 . Kebebasan
dari ketidakadilan dan penyimpangan hukum.
6. Kebebasan
untuk berfikir, berbicara dan berprestasi dalam
pembuatan
keputusan serta berserikat.
7. Kebebasan
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa
ekploitasi.
Paradigma
Pembangunan manusia mempunyai empat komponen (Human
Develop
ment Report 2000: 12) yaitu :
a.
Produktifitas
Manusia harus
berkemampuan untuk meningkatkan produktifitasnya
dan
berpartisipasi penuh dalam proses mencari penghasilan dan
48
lapangan
kerja. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi merupakan
bagian dari
model pembangunan manusia.
b. Pemerataan.
Setiap orang
harus memiliki kesempatan yang sama.Semua hambatan
terhadap
peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan sehingga
semua orang
dapat berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan dari
keuntungan
dari peluang yang tersedia.
c.
Keberlanjutan.
Akses terhadap
peluang /kesempatan harus tersedia bukan hanya untuk
generasi
sekarang tapi juga untuk generasi yang akan datang. Semua
bentuk sumber
daya: fisik, manusia, alam harus dapat diperbaharui.
d.
Pemberdayaan.
Pembangunan
harus dilakukan oleh semua orang, bukannya sematamata
(dilakukan)
untuk semua orang. Semua orang harus berpartisi -
pasi penuh
dalam Pengambilan keputusan dan proses yang mempe -
ngaruhi
kehidupan mereka.
Pembangunan
manusia lebih jauh diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan
hidup manusia, serta kemandirian (self-empowerment)
secara
berkelanjutan.
2.1.5.
Teori Ketenagakerjaan
Masalah yang
sering timbul dalam ketenagakerjaan adalah terjadinya
ketidakseimbangan
antara penawaran tenaga kerja (supply of labor)
dan
permintaan
akan tenaga kerja (demand for labor)
pada tingkat upah tertentu.
Ketidakseimbangan
ini dapat berupa exess supply of labor,
yaitu apabila
penawaran
lebih besar daripada permintaan akan tenaga kerja, atau terjadi exess
demand
for labor, yaitu apabila terjadi permintaan akan
tenaga kerja lebih besar
daripada
penawaran akan tenaga kerja.
Lewis, A dalam
Todaro (1985: 66) mengemukakan teorinya mengenai
ketenagakerjaan,
yaitu; kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan
masalah.
Kelebihan pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap
pertumbuhan output
dan penyediaan pekerja di sektor lain. Selanjutnya Lewis
49
mengemukakan
bahwa ada dua sektor di dalam perekonomian negara sedang
berkembang,
yaitu sektor modern dan sektor tradisional.. Sektor tradisional tidak
hanya berupa
sektor pertanian di pedesaan, melainkan juga termasuk sektor
informal di
perkotaan (pedagang kaki lima, pengecer, pedagang angkringan).
Sektor
informal mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang ada selama
berlangsungnya
proses industrialisasi, sehingga disebut katub pengaman
ketenagakerjaan..
Dengan terserapnya kelebihan tenaga kerja disektor industri
(sektor
modern) oleh sektor informal, maka pada suatu saat tingkat upah di
pedesaan akan
meningkat. Peningkatan upah ini akan mengurangi perbedaan
tingkat
pendapatan antara pedesaan dan perkotaan, sehingga kelebihan penawaran
pekerja tidak
menimbulkan masalah pada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya
kelebihan
pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan,
dengan asumsi
perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern
berjalan
lancar dan perpindahan tersebut tidak pernah menjadi terlalu
banyak.(Todaro,
2004: 132)
2.1.5.1.
Tingkat Upah.
Sebagaimana
halnya dengan harga barang-barang dan jasa-jasa, harga tenaga
kerja atau
yang lebih dikenal dengan upah , tinggi rendahnya ditentukan oleh
permintaan
pasar dan penawaran pasar akan tenaga kerja. Dipandang dari sumber
daya manusia
secara keseluruhan , tingkat upah atau wage rate ditentukan
oleh
kurva
permintaan akan tenaga kerja agregatif dan kurva penawaran akan tenaga
kerja
agregatif. Di mana kurva permintaan akan tenaga kerja agregatif adalah
50
kurva yang
menggambarkan jumlah-jumlah tenaga kerja per satuan waktu yang
diminta oleh
masyarakat pada berbagai kemungkinan tingkat upah nyata.
Tingkat upah
nyata atau upah riil (real wage rate)
adalah tingkat upah yang
dinyatakan
dengan tingkat harga konstan, sedangkan tingkat upah nominal adalah
tingkat upah
berdasarkan harga pasar pada saat upah diterima.
Hubungan
antara tingkat upah riil dengan tingkat upah nominal menurut BPS
dapat
dinyatakan secara matematis sebagai berikut :
W =
H
w
Di mana :
W = tingkat
upah nyata
w = tingkat
upah nominal
H = tingkat
harga
Dalam
menghitung upah minimum dan upah layak minimum menurut
Zadjuli (2005:
14), perlu diperhatikan beberapa dasar perhitungan sebagai berikut:
a. Proporsi
pengeluaran ideal mengikuti Kebutuhan Hidup Minimum
(KHM) sesuai
dengan konsep ILO (International Labor
Organization)
b. Pengeluaran
untuk mengembalikan energi yang dipakai harus
diganti
c. Upah murni
adalah (1: 0,6254) = 1,5989766 kali pengeluaran
untuk makan
dan minum per kapita rata-rata, tidak termasuk
pengeluaran
untuk keperluan rokok dan tembakau.
51
d. Upah
minimum adalah sama dengan nilai penggantian energi
pekerja yang
dipakai untuk bekerja ditambah dengan upah murni
pekerja itu
sendiri.
e. Upah layak
minimum adalah sebagai berikut (Zadjuli, 2005: 15-
17) :
i. Pekerja
lajang Upah Layak Minimum = Upah Minimum
ii. Pekerja
nikah tanpa anak = 2 x Upah Minimum
iii. Pekerja
nikah dengan anak :
iv. Satu = 3 x
Upah Minimum
v. Dua = 4 x
Upah Minimum
vi. Tiga atau
lebih = 5 x Upah Minimum
Untuk Jawa
Timur, Upah Layak Minimum tahun 2005 seharusnya
adalah :
a. Pekerja
Lajang = Rp 425.541,-
b. Pekerja
nikah tanpa anak = 2 x Rp 425.541,- = Rp 851.082
c. Pekerja
nikah dengan satu anak = 3 x Rp425.541,- = Rp 1.276.622,-
d. Pekerja
nikah dengan dua anak = 4 x Rp 425.541,- = Rp 1.702.163,-
e. Pekerja
nikah dengan tiga anak = 5 x Rp 425.541,- = Rp 2.127.704,-
2.1.6.
Teori Migrasi
Migrasi
merupakan salah satu faktor dasar di samping faktor
Kelahiran dan
Kematian yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Di negaranegara
yang sedang
berkembang migrasi secara regional sangat penting untuk
dikaji secara
khusus, mengingat meningkatnya kepadatan penduduk yang pesat di
daerah-daerah
tertentu sebagai distribusi penduduk yang tidak merata.
Definisi
migrasi dalam arti luas menurut .Lee, S.Everett. (1991: 7); migrasi
adalah
perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen.Tidak ada
pembatasan,
baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan
itu bersifat
suka rela atau terpaksa; serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi
dalam negeri
dan migrasi ke luar negeri. Jadi pindah tempat dari satu temapt
tinggal ke
tempat tinggal lain hanya dengan melintasi lantai antara kedua ruangan
52
itu dipandang
sebagai migrasi, sama seperti perpindahan dari Bombay di India ke
Cedar Rapids
di IOWA meskipun tentunya sebab-sebab dan akibat-akibat
perpindahan
itu sangat berbeda Tidak semua macam perpindahan dari satu tempat
ketempat lain
dapat digolongkan kedalam definisi ini; yang tidak dapat
digolongkan
misalnya pengembaraan orang nomad dan pekerja-pekerja musiman
yang tidak
lama berdiam di suatu tempat, atau perpindahan sementara.
2.1.6.1.
Push and Pull Factor Theory (Lee,S.Everett)
Menurut
Lee,S.Everett (1991: 9), faktor-faktor yang mendorong terjadinya
migrasi ada 4
Faktor migrasi ; yaitu :
a.
faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
b.
faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan
c. penghalang
antara dan
d.
faktor-faktor pribadi.
Menurut Lee,
dalam setiap daerah banyak sekali faktor yang mempengaruhi
orang untuk
tinggal atau menetap di situ atau menarik orang untuk pindah ke situ,
atau ada
faktor-faktor lain yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah
itu.Faktor-faktor
tersebut digambarkan dalam diagram berbentuk tanda + dan - ,
sedangkan
faktor-faktor yang pada dasarnya tidak berpengaruh sama sekali
terhadap
penduduknya digambarkan dengan tanda 0. Beberapa faktor itu
mempunyai
pengaruh yang sama terhadap beberapa orang, sedangkan ada faktor
berpengaruh
yang berbeda terhadap seseorang. Sebagai suatu contoh hampir
semua orang
senang dan tertarik untuk bertempat tinggal di daerah yang nyaman
udaranya, ada
juga orang yang tidak memilih tempat yang mempunyai fasilitas
53
pendidikan dan
kesehatan yang bagus namun biaya hidup mahal, sebagian orang
yang kaya akan
memilih tinggal di situ. Sementara bagi orang yang hidup sendiri
mungkin tidak
terpengaruh untuk tinggal di tempat itu, karena tidak ada anak
yang harus
disekolahkan.
Dari keempat
faktor pendorong terjadinya migrasi , tiga faktor pertama
secara
skematis dapat digambarkan sebagai Gambar 2.2 sebagai berikut (Lee,
S.Everett,
1991: 8-9):
Penghalang
antara
Tempat /
Daerah Tempat/Daerah
Tujuan
Keterangan : +
Faktor penarik
- Faktor
pendorong
0 Faktor yang
netral
Sumber
: Lee, S. Everett, 1991, Teori
Migrasi, terjemahan oleh Hans Daeng,
Hlm.9.
Gambar 2.2. :
FAKTOR TEMPAT /DAERAH ASAL DAN TEMPAT /
DAERAH
TUJUAN SERTA PENGHALANG-ANTARA
DALAM
MIGRASI
2.1.6.2.
Expected Income Theory (Todaro)
Berangkat dari
asumsi bahwa migrasi terutamanya merupakan fenomena
ekonomi,
Todaro (1985: 71) merumuskan bahwa migrasi berkembang
dikarenakan
terjadinya perbedaan antara pendapatan yang diharapkan dengan
pendapatan
yang diperoleh di pedesaan dan perkotaan.
+
o - o
-
o + o -
o - + o
+ - o -
+ -
o - o +
+
o - o
o + -
+ - +
- + o
o -
+ o
+ o -
54
Sekalipun
dasar keputusan untuk migrasi tidak selalu rasional, namun Todaro
mengasumsikan
bahwa keputusan migrasi adalah fenomena ekonomi yang
rasional.
Model migrasi menurut Todaro ini dikenal dengan Expected
income of
rural-
urban migration.
Menurut Todaro
(1985: 75) karakteristik dasar dalam migrasi adalah sebagai
berikut :
1. dorongan
utama migrasi adalah pertimbangan ekonomi yang rasional
terhadap
segala keuntungan dan kerugian.
2. keputusan
migrasi lebih bergantung kepada harapan daripada perbedaan
upah riil
sesungguhnya yang terdapat di desa dan kota.
3. kemungkinan
seseorang mendapatkan pekerjaan di kota, berbanding
terbalik
dengan tingkat pengangguran yang terdapat di kota itu.
4. tingkat
migrasi melebihi tingkat pertumbuhan lapangan kerja di kota
adalah suatu
hal yang logis.
Teori Todaro
yang hanya berlaku untuk migrasi internal yaitu migrasi dari desa ke
kota ini
secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
E(Wu) = Wu.(Eu/Lu)
Di mana :
E(Wu) = harapan pendapatan (income)
di kota
Wu = tingginya
upah di kota
Eu = jumlah
pekerjaan di kota
Lu = jumlah
angkatan kerja
Menurut Sensus
Penduduk tahun 1971, ternyata tidak satupun dari dua
puluh tujuh
provinsi di Indonesia yang tidak mengalami perpindahan penduduk,
baik
perpindahan masuk maupun perpindahan keluar.Perpindahan penduduk
seringkali
diartikan sebagai migrasi, namun migrasi sendiri mempunyai artian
secara khusus.
Menurut Munir, (2004: 55), Migrasi didefinisikan sebagai
perpindahan
penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke
tempat lain
melampaui batas politik / negara ataupun batas administratif / batas
bagian dari
suatu negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang
relatif
permanen dari suatu daerah ke daerah lain.
55
Dari definisi
ini mengandung dua demensi yaitu demensi Waktu dan
demensi
Daerah. Untuk demensi waktu, ukuran yang pasti tidak ada karena
sulitnya
menentukan berapa lama seseorang pindah tempat tinggal untuk dapat
dianggap sebagai
seorang migran. Namun demikian dalam praktik ukuran yang
dipakai adalah
definisi yang ditentukan dalam Sensus Penduduk. Sebagai contoh
dalam Sensus
Penduduk Th.1961, batasan waktu bagi penentuan migran adalah 3
bulan,
sementara itu dalam Sensus Penduduk Th.1971 dan 1980 batasan waktu
yang digunakan
adalah 6 bulan.
Untuk demensi
daerah, secara garis besarnya dibedakan dalam kategori; yaitu
Migrasi
Internasional dan Migrasi Intern. Migrasi Internasional adalah
perpindahan
penduduk dari suatu negara ke nagara lain, sedangkan Migrasi Intern
adalah
perpindahan penduduk yang terjadi dalam satu negara, misalnya
perpindahan
antar provinsi, antar kota, atau antar kesatuan administrasi.
Menurut
batasan Sensus Penduduk 1961 dan 1980 Batasan Unit Wilayah bagi
migrasi di
Indonesia adalah provinsi.
Sesuai dengan
batasan Sensus Penduduk 1961 dan 1980 ada beberapa
jenis migras
yaitu :
1. Migrasi
Masuk (In Migration)
2. Migrasi
Keluar (out Migration)
3. Migrasi
Neto (Net Migration)
4. Migrasi
Bruto (Gross Migration)
5. Migrasi
Total (Total Migration)
6. Migrasi
Semasa Hidup (Life Time Migration)
7. Migrasi
Parsial (Partial Migration)
8. Arus
Migrasi (Migration Stream)
9. Urbanisasi
(Urbanization)
10.
Transmigrasi (Transmigration)
56
2.1.6.3.
Urbanisasi
Kata “
Urbanisasi _ atau “ urbanization
_ didefinisikan oleh Munir ( 2004:
1) sebagai
bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang
disebabkan
oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan atau akibat dari
perluasan daerah
kota. Urbanisasi dapat terjadi melalui dua cara yaitu;
perpindahan
penduduk dari desa ke kota (rural urban migration)
dan kedua
karena
berubahnya daerah pedesaan yang karena beberapa faktor lambat laun
menjadi daerah
perkotaan (Sinulingga, 1999: 70). Pada umumnya di negaranegara
maju tingkat
urbanisasi sangat tinggi dibanding di negara- negara
berkembang. Di
negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat urbanisasi
mencapai
hampir 80%, sedangkan di negara-negara berkembang urbanisasi
masih di bawah
40%. Di Indonesia urbanisasi baru mencapai 30,9% di
tahun 1990,
sedangkan keseluruhan dunia mencapai 40% di tahun yang sama
(Sinulingga,
1999: 81).
2.1.6.4.
Proses Urbanisasi
Proses
urbanisasi di negara-negara maju dapat dikategorikan ke dalam 3 fase
yaitu : Fase
pertama dimulai dari revolusi industri yang dipelopori oleh Inggris
pada abad 18.
Pada era tersebut jumlah penduduk di kota dimulai kurang dari 20%
dari penduduk
seluruhnya, dan berkembang menuju titik jenuh yaitu 80%. Selama
proses
industrialisasi penduduk cenderung untuk tinggal di kota, sekalipun
demikian
penduduk pedesaan tidak berkurang. Hal ini disebabkan oleh karena
pertumbuhan
alamiah penduduk sangat tinggi. Rata-rata keluarga berukuran besar
57
dan struktur
umur berbentuk piramida di mana penduduk usia muda jumlahnya
lebih banyak
daripada penduduk berusia dewasa.
Pada fase
ketiga, yaitu “post industry_
pada fase ini urbanisasi sudah menjadi
hal yang umum,
pertumbuhan penduduk secara nasional adalah menimal, umur
rata-rata
penduduk bertambah dan ukuran keluarga berkurang. Pada tahap ini
penduduk
cenderung berpindah ke daerah pinggiran kota . Kota-kota besar mulai
kehilangan
penduduknya karena berpindah ke pinggiran kota bersama
berpindahmya
industri. De-urbanisasi ini kemudian menjadi masalah, dan negaranegara
maju berusaha
untuk menguranginya agar investasi yang telah dibuat di
kota kota
dapat dimanfaatkan dengan effisien.
Urbanisasi di
negara-negara di Asia, utamanya di negara-negara bekas jajahan
(termasuk
Indonesia) mempunyai konteks yang berbeda dengan negara maju.
Pertumbuhan
penduduk kota tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonominya,
melainkan
disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pada
umumnya
perpindahan penduduk dari desa ke kota dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu; faktor
pendorong, faktor penarik dan faktor penghambat atau penghalang
(Lee,
S.Everett1991: 9).
Faktor
pendorong utama adalah kondisi daerah asal (pedesaan), di antaranya
adalah tekanan
ekonomi, jumlah keluarga yang banyak, lapangan usaha dan
pekerjaan
terbatas serta fasilitas hidup terbatas. Faktor penarik merupakan faktor
yang berasal
dari kota yang meliputi : tersedianya berbagai fasilitas hidup yang
lebih baik,
terbukanya lapangan usaha dan pekerjaan, tingkat upah dan gaji yang
relatif lebih
daripada penghasilan di desa. Semua faktor-faktor ini menyebabkan
tingkat sosial
ekonomi masyarakat perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan
58
masyarakat
pedesaan dan hal ini menjadi daya tarik masyarakat desa untuk pindah
dari desa ke
kota.
Faktor ketiga
adalah faktor penghalang bagi para pendatang yang antara lain
meliputi :
jarak antara kota dan desa cukup jauh serta kurang tersedianya alat
transportasi
dan komunikasi di desa sehingga kota sulit terjangkau serta
pertimbangan-pertimbangan
lain seperti ketidak pastian untuk meraih kehidupan
yang lebih
baik di kota menjadi pertimbangan bagi penduduk desa untuk pindah
ke kota.Faktor
pendorong serta faktor penarik secara bersama sama akan
menimbulkan
arus migrasi (perpindahan) penduduk dari desa ke kota yang
menjadi tinggi
bahkan melebihi pertumbuhan daya serap kota dalam menampung
jumlah
pendatang baru. Kondisi seperti ini disebut “over
urbanization_ atau
urbanisasi
berlebih, di mana kondisi seperti ini dapat menimbulkan berbagai
dampak.
2.1.6.5.
Dampak Urbanisasi Berlebih
Menurut
Graeme, (1987: 11), urbanisasi berlebih di Indonesia menimbulkan
dampak baik
dampak positif maupun negatif. Dampak positif adalah dampak yang
dialami oleh
daerah yang ditinggalkan (daerah pedesaan) di antaranya adalah
meningkatnya
pendapatan, kesehatan, kesejahteraan , perubahan sosial serta
meningkatnya
peran secara tradisional (khususnya wanita). Sedangkan dampak
negatifnya
untuk daerah perkotaan di antaranya adalah meningkatnya
pengangguran
dan setengah pengangguran. Pertambahan kesempatan kerja yang
terbuka di
kota tidak dapat mengimbangi tenaga kerja pendatang dari
desa.Penduduk
pendatang dari desa dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok;
yaitu kelompok yang berpendidikan serta memiliki keterampilan atau
59
keahlian dan
yang tidak berpendidikan serta tidak memiliki keterampilan dan
keahlian.Kelompok
yang berpendidikan berharap untuk mendapatkan pekerjaan
yang sesuai
dengan pendidikan serta keahliannya di kota, sementara yang tidak
berpendidikan
bersedia untuk mendapatkan pekerjaan apa saja asalkan dapat
memberikan
penghasilan. Kesenjangan antara jumlah pencari kerja dengan
kesempatan
kerja yang terbuka di kota-kota menimbulkan masalah yang serius
yaitu
bertambahnya jumlah pengangguran dan setengah menganggur. Kondisi
yang demikian
ini menciptakan dampak yaitu: 1. tingkat kesejahteraan menurun
(ditandai
dengan tidak sebandingnya pendapatan riil dengan pengeluaran riil); 2.
meningkatnya
persaingan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan; 3.munculnya
daerah kumuh
(tak layak huni); 4. meningkatnya kriminalitas; 5. banyaknya tuna
wisma dan tuna
karya; 6. meningkatnya tingkat kebisingan dan lain-lain yang
menyebabkan
kota menjadi kurang nyaman .
Di Indonesia ,
tingginya tingkat urbanisasi (36,46% di tahun 2000) serta
minimnya
fasilitas kehidupan (pendidikan, kesehatan, sanitasi, energi, dan
lapangan
pekerjaan), menimbulkan perkampungan kumuh (tidak layak huni)
berpenduduk
padat dan miskin di kota-kota.
2.1.7.Konsep
Perkotaan danTeori Penggunaan (Tata Ruang Kota) Tanah
2.1.7.1.
Pengertian Kota
Istilah kota
berasal dari sejarah perkotaan di Eropa kuno. Pada zaman Yunani
Kuno kota-
kota yang pada saat itu dianggap sebagai republik kecil, letaknya
terpencar-pencar
di wilayah pegunungan yang dinamakan “ polis _
. Kota-kota
pada waktu itu
berupa benteng pasukan pendudukan Romawi di negeri-negeri
60
Eropa yang
disebut “urbis_ dan
lahan di luar kota di atas parit-parit yang
mengelilingi
benteng disebut “suburbis_
Dari
istilah-istilah ini kemudian muncul istilah “Urban_
dan “suburban_ ,
sedangkan
pedesaan di luar kota penduduknya adalah petani disebut “Ru_
dan
dari sinilah
timbul istilah “rural_.
Sementara itu suatu benteng dinamakan Kota
apabila
menjadi pusat perdagangan dan pertukangan yang memungkin
berfungsinya
pasar dalam kota (Daldjoeni, 2003: 13) .
Menurut
Sullifan, A. (2003: 16) daerah urban (urban area)
adalah suatu
daerah dengan
tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi daripada daerah
lain .Daerah
urban dicirikan dengan kegiatan permukiman yang dominan di sektor
non-agraris
dan menjadi pusat kegiatan perekonomian (yaitu produksi, distribusi
dan konsumsi)
baik untuk daerah itu sendiri maupun untuk daerah sekitarnya
(hinterland).
Kepadatan penduduk merupakan ciri yang lain dari kota.
Di Indonesia,
jumlah penduduk merupakan ukuran besar kecilnya kota yang
termasuk kota
kecil adalah kota yang berpenduduk antara 5.000 sampai dengan
50.000 orang,
kota sedang yaitu kota yang berpenduduk antara 50.000 sampai
dengan 500.000
orang Sedangkan kota besar adalah kota yang berpenduduk
500.000 ke
atas (Reksohadiprodjo, 2001: 6). Kota yang memliki penduduk 1ebih
dari satu juta
disebut kota Metropolitan; yaitu suatu wilayah yang memiliki ciri
sebagai suatu
pusat perdagangan, industri, budaya dan pemerintahan yang
dikelilingi
oleh daerah semi urban (suburban)
, kawasan perumahan atau kota
kota kecil
yang digunakan sebagai tempat tinggal
61
2.1.7.2.
Asal Usul Kota
Daerah disebut
urban atau kota apabila ada sarana dan prasarana yang
beragam
lengkap dan bermutu ( Ward, B. 1976: 29-38). Ada beberapa kondisi
yang
diperlukan bagi suatu daerah untuk dapat berkembang menjadi daerah
perkotaan
yaitu ; 1 adanya produksi yang lebih di sektor pertanian yang dapat
mencukupi
kebutuhan penduduk se tempat pada tingkat yang tetap, 2 adanya “
economies
of scale _ dalam produksi di
mana firm-firm dapat menghasilkan
barang dengan
lebih efisien bila barang tersebut diproduksi oleh individu. Firm
dikatakan
mempunyai tingkat produksi dengan “ economies of scale _
jika
terjadi
perubahan yang sebanding di semua input dapat
menyebabkan perubahan
output
yang lebih besar.
Keberadaan
firm-firm akan menimbulkan suatu komunitas penduduk di
sekitarnya,
karena para pekerja akan tinggal di sekitar firm-firm, sehingga akan
menghemat
biaya transportasi dari rumah ke tempat kerja. Kondisi seperti ini akan
merubah
kepadatan penduduk di daerah sekitar firm menjadi lebih padat daripada
di daerah
lain, (Mill, E.1989: 31).
Kondisi
selanjutnya adalah adanya surplus produksi di sektor pertanian yang
kemudian
diperdagangkan untuk mendapatkan barang dan jasa yang diproduksi di
kota. Hal ini
terjadi karena adanya “ comparative advantage _
( keuntungan
komparatif ) yaitu
; apabila dua daerah yang masing-masing mempunyai
kemampuan
relatif lebih besar untuk memproduksi barang yang berbeda. Adapun
prinsip “ comparative
advantage _ dapat dideskripsikan
melalui Gambar 2.3.
pada halaman
62.
62
Garis ab pada
Gambar A dan B masing masing menggambarkan “ product
possibility
curve _ (kurva kemungkinan
produksi) untuk daerah 1 dan 2.
Sedangkan
agregat dari PPC digambarkan dalam Gambar C. Dari gambar ini
dapat dilihat
bahwa daerah 1 lebih efisien dalam memproduksi khusus barang X1
dan daerah 2
memproduksi khusus barang X2. Dan apabila
unsur transportasi
dimasukan maka
perdagangan akan terjadi bila keuntungan dari perdagangan
tersebut dapat
menutupi biaya transportasi. (Mill and Hamilton 1989: 33).
A B C
X1
X1 X1
Daerah (1)
Daerah (2) Daerah (1) dan
(2)
3,5 a
3 a
a
0,5
b
b X2
b X2 X 2
0 2 0 1 0 3
Sumber :
Mills, E. and Hamilton,Bruce W., Urban Economics,
Scot Foresman
and Company, 1989
Gambar 2.3. ILUSTRASI
COMPARATIVE ADVANTAGE
Unsur biaya
dalam perdagangan menandakan bahwa perdagangan di antara
dua derah akan
menyebabkan perkembangan kota bila ada “ economies of scale_
karena apabila
tidak, maka perdagangan inter-regional hanya terjadi di mana
individu di
daerah yang berbeda tanpa melibatkan campur tangan kota. Adanya
economies
of scale dalam tranportasi menjadikan biaya pengiriman
meningkat
dengan tingkat
yang makin menurun sebanding dengan kenaikan volume barang
63
yang
dikirim.Skala yang besar ini akan menyebabkan berkembangnya firm-firm
yang bergerak
dalam bidang perdagangan dengan kegiatan mengumpulkan,
mengangkut dan
mendistribusikan barang-barang. Selanjutnya
“trading firm_ ini
akan
mendirikan pasar yang tepat untuk melakukan pengumpulan dan distribusi
barang-barang.
Keputusan
penempatan lokasi dari para pedagang menyebabkan
perkembangan
kota- kota yang berfungsi sebagai pasar (market cities).
Para
pekerja yang
bekerja pada trading firm ini
akan bertempat tinggal di sekitar firm
berada .
Dengan demikian kombinasi antara “comparative
advantage_ dan “
economies
of scale _ dalam transportasi
menyebabkan perkembangan kota yang
berfungsi
sebagai pasar. Pertumbuhan kota yang disebabkan oleh kombinasi ini
akan makin
berkembang dengan bertambahnya jumlah pabrik sehingga
menciptakan
kota-kota industri. Kota-kota yang tumbuh karena adanya pemusatan
kegiatan ini
akan menimbulkan keuntungan aglomerasi (agglomerative
economies),
yaitu bagi firm-firm yang berdekatan lokasinya dapat mengurangi
biaya
produksinya karena dapat menggunakan fasiltas infrastruktur secara
bersama sama.
2.1.7.3.
Pembangunan dan Tata Ruang Kota.
Pembangunan
dalam tata ruang kota secara umum adalah suatu upaya secara
sadar untuk
merubah suatu keadaan melalui perencanaan dengan tujuan untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Sementara itu
pembangunan
tata ruang dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai pekerjaanpekerjaan
konstruksi
yang berhubungan dengan penggunaan tanah atau
64
berhubungan
dengan tanah dan bangunan di atasnya atau berhubungan dengan
perubahan dalam
intensitas penggunaan tanah, atau berhubungan dengan
menghidupkan
kembali penggunaan yang semula sudah ada (Poerbo , 1999: 220).
Pembangunan
kota baik secara luas maupun secara sempit, baik yang dilakukan
oleh
pemerintah maupun oleh swasta hendaknya terorganisasi dan berdasarkan
Rencana Tata
Ruang yang berlaku.
Perencanaan
tata ruang di kota bertujuan untuk memberi arahan
perkembangan
tata ruang agar terdapat keseimbangan yang dinamis dan serasi
antara
berbagai manfaat/fungsi dalam ruang (Poerbo, 1999: 223). Perencanaan
yang terlalu
deterministic dan kaku perlu dihindari, karena sulit untuk diterapkan.
Sebagai suatu
contoh perencanaan penggunaan tanah/pengendalian penggunaan
tanah yang
ditetapkan penggunaannnya ke depan dalam suatu Rencana
Pembangunan (Development
Plan) yang dilakukan melalui pemberian izin pada
dua tingkat,
yaitu “izin perencanaan (planning permit)_,
dan “izin bangunan
(building
permit)_.
Kedua izin ini merupakan konsep pengendalian secara pasif
yang terbukti
tidak dapat menghadapi tekanan-tekanan pembangunan serta tidak
cocok dengan
rencana yang telah ditetapkan.Untuk menghadapi kendala ini dapat
dilakukan
dengan menggunakan suatu sistem di mana pemerintah diberi
kewenangan-kewenangan
yang lebih luas untuk mengadakan intervensi berupa
(Poerbo, 1999:
224) :
a. Melalui
“merasionalisasikan hak untuk membangun (development
rights)_
sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa : semua “nilai
pembangunan (development
value)_ sudah
di tangan pemerintah, maka
tanah hanya
dianggap mempunyai nilai penggunaan yang ada (existing
65
value).
Dengan demikian siapapun yang ingin membangun cenderung
memintakan
penetapan nilai dari pemerintah. Melalui mekanisme ini
penetapan-
penetapan nilai pembangunan tidak lagi ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan
pasar, melainkan oleh Rencana Pembangunan
Pemerintah,
sehingga akan mendorong macam penggunaan tanah apa
yang boleh
tumbuh di suatu tempat pada suatu saat tertentu melalui
Rencana
Pembangunan kota.
b. Pemerintah
Daerah diberi kewenangan jika diperlukan menguasai dan
membebaskan
tanah di daerah-daerah yang sifatnya strategis untuk
mempengaruhi
perkembangan penggunaan tanah ke depan.
Kedua
intervensi ini dapat diartikan sebagai bentuk :
1. Intervensi
melalui penggunaan tanah.
2. Perkiraan
dan pengendalian dampak.
3. Intervensi
melalui rasionalisasi hak untuk membangun.
Secara jelas
hal – hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengurusan
Tanah
Pengendalian
Dampak
Membangun
Rasionalisasi Pengendalian
Dampak
Sumber
: Poerbo, Hasan, Lingkungan
Binaan Untuk Rakyat,1999, Hal.224.
66
. Gambar 2.4.:
INTERVENSI PEMERINTAH TERHADAP HAL DAN
PENGGUNAAN
TANAH
Konsep di atas
adalah konsep yang ideal, namun pada implikasinya sangat
sulit. Sebagai
suatu contoh, konsep ini pernah dikembangkan di Inggris, namun
tidak dapat
diterapkan karena banyak mendapat tantangan politis serta biayanya
terlalu mahal,
disebabkan pembebasan tanah harus dilakukan atas dasar nilai
pasar, di mana
semakin langka tanah harganya semakin mahal.(Poerbo, 1999:
225).Bagi
masyarakat miskin, rumah tanah serta infrastruktur serta pelayanan
dasar sangat
terbatas, komplek nya hak atas tanah serta prosedur yang berbelitbelit
dan biaya
pengurusan yang dirasakan mahal, menyebabkan banyak
masyarakat
miskin di perkotaan yang tinggal di atas tanah illegal.
2.1.7.4.Teori
Konsentris (Concentric Theory)
Menurut
Burgess, E.W. (1925: 10), sejalan dengan perkembangan
masyararakat,
maka berkembang pula jumlah penduduk serta jumlah infrastruktur
yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya
masyarakat ini
pula proses segregasi dan diferensiasi di kalangan masyarakat akan
terjadi.
Sebagai akibatnya daerah pemukiman dan institusi akan terdesak ke luar
secara “centrifugal”
ke lokasi yang derajad aksebilitasnya jauh lebih rendah dan
kurang
bernilai ekonomis. Sementara itu “business” akan
terkonsentrasi pada
lahan yang
paling baik di kota, sehingga sektor yang berpotensi ekonomi kuat
akan merebut
lokasi yang strategis Sebagai suatu contoh, pusat-pusat pertokoan
atau Mall-mall
selalu berada di kawasan yang strategis di kota.(Burgess,
E.W.1925: 13).
67
Selanjutnya
Burgess mengatakan bahwa tanpa adanya “counteracting
factors ”
terhadap
proses ekologis yang berkembang, maka kota-kota besar (seperti di
Amerika
Serikat), akan terbentuk ke dalam 5 zona yaitu:
1. Daerah
Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Business Distric.
yaitu, daerah
yang merupakan pusat dari segala kegiatan kota
antara lain
kegiatan politik, sosial budaya, ekonomi dan
tehnologi.
Zona ini terdiri dari 2 bagian , yaitu : (1). Bagian
paling inti (the
heart of the area ) disebut RBD (retail
business
district),
contoh kegiatan di daerah ini adalah toko swalayan,
bank, hotel,
perkantoran. (2) adalah bagian luarnya yang
disebut WBD (Wholesale
Business District), yang ditempati
bangunan yang
diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah
besar seperti
pasar, pergudangan (warehouse).
2. Daerah
Peralihan (DP) atau Transition Zone (TZ).
Zona ini
merupakan daerah yang mengalami penurunan
kualitas
Lingkungan yang terus menerus dan bertambah besar
penurunannya.
Hal ini terjadi karena adanya intrusi fungsi yang
berasal dari
Zona I, sehingga perbauran permukiman dengan
bangunan bukan
untuk permukiman seperti gudang, kantor
yang sangat
mempercepat terjadinya deteriorisasi lingkungan
permukiman.
Perdagangan dan industri ringan dari Zona I,
banyak
mengambil alih daerah pemukiman. Pengambil alihan
yang terus
menerus mengakibatkan terbentuknya daerah
68
permukiman
kumuh (slum area), yang
semakin lama menjadi
daerah miskin
(areas of proverty).
3. Zona
Perumahan Para Pekerja Bebas (ZPPB)
Zona ini
banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja,
antara lain
oleh pekerja pabrik, industri yang di antaranya adalah
pendatang-pendatang
baru dari zona 2.Sekalipun demikian belum
terjadi invasi
dari fungsi industri dan perdagangan ke daerah ini,
karena
letaknya masih dihalangi oleh zona peralihan. Di sini
kondisi
pemukimannya masih lebih baik dibandingkan dengan
zona 2,
sekalipun penduduknya masih masuk dalam kategori
“low-
medium status”
4. Zona
Permukiman Yang Lebih Baik (ZPB) atau “Zone of Better
Resident”
(ZBR).
Zona ini
dihuni oleh penduduk yang berstatus ekonomi
menengah-tinggi.
Penduduk di sini sekalipun tidak berstatus
konomi sangat
baik, namun mereka terdiri dari penduduk yang
mengusahakan
sendiri usaha kecil-kecilan, para professional,
para pegawai
dan sebagainya. Kondisi ekonomi mereka pada
umumnya stabil
sehingga lingkungan permukimannya
menunjukkan
derajad keteraturan yang cukup tinggi. Fasilitas
permukiman
terencana dengan baik, sehingga kenyamanan
tempat tinggal
dapat dirasakan pada zona ini.
5. Zona
Penglaju (ZP) atau “Commuters Zona (CZ)”
69
Dimaksud
penglaju pada zona ini adalah penglaju yang terjadi
dikota-kota di
negara maju seperti kota- kota di Amerika
Serikat.
Timbulnya penglaju merupakan suatu akibat adanya
proses
desentralisasi permukiman sebagai dampak sekunder dari
aplikasi
teknologi di bidang transportasi dan komunikasi. Di
daerah
pinggiran kota mulai bermunculan perkembangan
permukiman
baru yang berkualitas tinggi sampai kualitas
mewah.Kecenderungan
penduduk untuk memilih zona ini
didorong oleh
kondisi lingkungan daerah asal yang dianggap
tidak nyaman
dan tertarik oleh kondisi lingkungan zona 5 ini yang
menjajikan
kenyamanan hidup yang jauh lebih baik.
Lebih rinci
Teori Kosentris dari Burgess dapat dilihat pada Gambar 2.5
sebagai
berikut :
Sumber
: Burgess, E.W.,1925, The
Growth of City, in R.E.Park, University of
Chicago Press.
1
2
3
4
5
2 3 4 5
70
Keterangan : 1
= zona 1 (Daerah Pusat Kegiatan)
2.= Zona 2
(Daerah Peralihan)
3.= Zona
3.(Zona Perumahan Pekerja)
4 = Zona4
(Zona Pemukiman yang Lebih Baik)
5 = Zona 5
(Zona Penglaju)
Gambar 2.5.. MODEL
ZONE KONSENTRASI ( BURGESS)
Menurut Murphy
dalam Yunus, karena zona-zona yang tercipta menurut
teori ini
tercapai sebagai akibat interaksi-interaksi dan interrelasi elemen-elemen
sistem
kehidupan perkotaan dan mengenai kehidupan manusia, maka sifatnya
sangat dinamis
tidak statis. Demikian juga teori ini hanya berlaku pada kota- kota
besar yang
cepat berkembang.(Yunus.2004:12)
2.1.8.
Pengertian Rumah, Tipe Rumah, Perumahan dan Permukiman
/kampung.
2.1.8.1.
Pengertian Rumah dan Tipe Rumah.
Menurut Undang
Undang No.4 Tahun 1992 (Indrayana, E. 2000:29)
pengertian
Rumah, Perumahan dan Permukiman adalah sebagai berikut:
1. Rumah
adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan
sarana pembinaan keluarga
2. Perumahan
adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal
atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan
sarana lingkungan.
3. Permukiman
adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik
yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
71
hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.
4. Satuan
lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai
bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang prasarana
dan sarana
lingkungan yang teratur.
Menurut
Yudhohusodo (1991: 3), perumahan merupakan
pencerminan dan
pengejawantahan
dari diri pribadi manusia, baik secara perseorangan, maupun
dalam satu
kesatuan dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya. Sedangkan
pengertian
rumah menurut Silas (1996: 6) adalah :
“
Rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman dan bukan
semata
– mata hasil fisik yang sekali jadi. Perumahan bukan
kata
benda melainkan merupakan suatu kata kerja yang berupa
proses
berlanjut dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi
penghuninya.
Bermukim pada hakikatnya adalah hidup bersama,
dan
untuk itu fungsi rumah dalam kehidupan adalah sebagai tempat
tinggal
dalam suatu lingkungan yang mempunyai prasarana dan
sarana
yang diperlukan oleh manusia dalam memasyarakatkan diri.”
Menurut Dewi S
dalam Silas (2000:12), rumah dapat menjadi modal kerja
yang handal
dalam mengembangkan kekuatan ekonomi keluarga melalui Usaha
Berbasis Rumah
(UBR). Adapun cirri-ciri UBR dalam konteks pengalaman
kampung di
Surabaya (Silas, 2000:13) adalah sebagai berikut:
a. Rumah dan
rumah tangga sebagai modal kerja.
b. Kampung
sebagai kesempatan dan kemudahan kerja mengingat
lokalitasnya
yang baik terhadap system kota.
c. Komunalisme
kehidupan masyarakat kampung menjadi kekuatan
untuk saling
memberi dukungan dan memudahkan kerja.
d. Tenaga
tembahan yang setiap saat diperlukan diluar tenaga
keluarga
dengan mudah dapat diperoleh dari tetangga sekitarnya.
e. Melakukan
proses pemberdayaan melalui proses saling mambantu
dan saling
mengajarkan keahlian yang diperlukan; proses
penyuburan
bersama.
72
f. Ada
kelonggaran dalam banyak hal untuk melakukan UBR,
termasuk
masalah perizinan, pungutan, dan sebagainya yang jauh
meringankan
biaya kerja.
g. Menjadi
basis bagi kekuatan kota yang bertumpu pada masyarakat
dengan segala
kelebihan dan kekurangannya.
Rumah
produktif dalam UBR menurut Silas (2000:19), mempunyai 5 ciri
pokok adalah:
a. Rumah dan
rumah tangga menjadi modal dan basis dari kegiatan
ekonomi
keluarga.
b. Keluarga
menjadi kekuatan pokok dalam penyelenggaraan UBR,
mulai dari
menyiapkan, menjalankan hingga mengendalikan
semua
kegiatan, sarana dan prasarana yang terlibat
c. Dasar dan
pola kerja UBR terkait (erat) dengan dan menjadi bagian
dari
penyelenggaraan kerumah-tanggaan. Isteri/ibu dan anak-anak
menjadi tulang
punggung dari penyelenggaraan UBR.
d. Rumah makin
jelas merupakan proses yang selalu menyesuaikan
diri dengan
konteks kegiatan yang berlaku, termasuk kegiatan (atau
tidak ada
kegaiatan) melakukan berbagai bentuk UBR.
e. Berbagai
konflik yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya
UBR dirumah
dapat diatasi secara alami, baik internal rumah
maupun dengan
lingkungan dan tetangga disekitarnya yang terlibat
langsung atau
tidak langsung dalam berbagai kegiatan UBR
.
Menurut Lanti,
A., (2000:11-12), pembangunan dan pengembangan
perumahan
produktif dalam mengantisipasi tantangan ekonomi kerakyatan
ditempuh
dengan kebijakan yang mendorong dan memfailitasi terbentuknya
iklim dan
lingkungan usaha yang kondusif, melalui optimalisasi keterpaduan
pelaksanaan
program perumahan dan pemukiman dengan program ekonomi
kerakyatan
yang terkait dalam suatu kerangka skenario pembangunan wilayah
induknya.
Selanjutnya Lanti menyatakan bahwa pendekatan dan strategi utama
yang harus
dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui
Tribina yang
meliputi: 1. Bina Manusia, 2. Bina Usaha dan 3. Bina Lingkungan.
73
Secara
skematik pelaksanaan Tribina dapat dilihat pada Gambar 2.6 sebagai
berikut:
Sumber
: Lanti A., Pembangunan
Perumahan Dan Permukiman dengan
Perberdayaan
Masyarakat, Seminar Internasional Rumah Produktif
15-16
September 2000, Surabaya Laboratorium Perumahan
Permukiman
Jurusan Arsitektur ITS.
Gambar: 2.6. SKEMA
PENDEKATAN TRIBINA
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
1. Bina
Manusia:
a Pelibatan
masyarakat dalam proses pembangunan.
b Peningkatan
pengetahuan dan kelompok masyarakat dalam
pemanfaatan
teknologi tepat guna.
c Pelibatan
masyarakat tersebut dengan mendasarkan kepada
aspek-aspek
sosial, budaya dan eko-nomi masyarakat.
2. Bina Usaha:
a. .memberikan
kesempatan kerja dan kesempatan berusaha
yang produktif
kepada masyarakat.
b. Mendukung
usaha-usaha masyarakat dengan mendasarkan
kepada kondisi
sosial, budaya dan ekonominya antara lain
meliputi usaha
agribisnis, agroindustri, pertanian dan
perikanan,
dalam Industri kecil maupun industri rumah tangga
serta
perkembangan usaha jasa perdagangan.
c. Menumbuhkan
sifat-sifat wirausaha kepada masyarakat
dalam
menyongsong masa depan yang lebih baik tetapi
dengan
mendasrkan kepada aspek-aspek sosial, budaya yang
dimiliki.
3. Bina
Lingkungan :
INPUT
SUMBER DAYA
ALAM
(Konservasi dan
Pendayagunaan)
SUMBERDAYA
BUATAN
(Prasarana dan
Sarana)
INSTITUSI
KEMASYARAKATAN
SUMBERDAYA
LAINNYA
- Modal
- Teknologi
- Bahan
peralatan
OUTPUT
PEOPLE
PROSPERI
TY
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
MELALUI
TRIBINA
Bina
Manusia
Bina
Usaha
Bina
Lingkungan
74
a..
Memfasilitasi upaya-upaya pembangunan prasarana dan sarana
untuk
pengembangan wilayah.
b.
Pengembangan dan pengelolaan hasi-hasil pembangunan fisik
oleh
masyarakat selaku subyek pembangunan.
c. Aplikasi
teknologi tepat guna dengan mendasarkan kepada
kondisi
sosial, budaya dan ekonomi masyarakat dalam
pembangunan
prasarana dan sarana wilayah.
Tipe Rumah
tinggal/hunian dapat digolongkan kedalam 4 tipe
(Berdasarkan
Keputusan MenperaNo.4/KPTS/BKP4/1995 tentang klasifikasi
rumah tidak
bersusun), yaitu:
1. Rumah mewah
adalah bangunan bertingkat maupun tidak
bertingkat
dengan luas lantai bangunan yang relatif besar (kurang lebih
200 m2),
dengan luas kaveling antara 54 m2 sampai dengan
200 m2
dengan harga
lebih besar dari harga per m2 tertinggi
untuk rumah
dinas (HST)
lebih besar dari tipe A, atau luas kaveling antara 600 m2
sampai dengan
2000 m2 dengan harga lebih kecil dari HST tipe C
sampai dengan
harga lebih besar dari HST tipe A, dengan
menggunakan
bahan bangunan yang relatif mahal (spesifik)
2. Rumah
menengah, adalah bangunan tidak bersusun dengan luas
lantai
bangunan diatas 70 m2 sampai dengan 150 m2
dengan luas
kaveling 54 m2
sampai dengan HST tipe C atau sampai dengan tipe A
atau dengan
luas kaveling 200 m2 sampai dengan 600 m2
dan HST ¾
tipe C atau
tipe C sampai dengan tipe A.
3. Rumah
sederhana adalah: rumah tidak bersusun dengan luas lantai
bangunan tidak
lebih dari 70 m2 yang dibangun dengan
luas kaveling
54 m2
sampai dengan 200 m2 dan biaya
pembangunan per m2 tidak
melebihi dari
harga per m2 tertinggi untuk
pembangunan rumah dinas
(HST) tipe C
yang berlaku, yang meliputi rumah sederhana tipe
besar,rumah
sederhana, dan kaveling siap bangun (Keputusan Menteri
Negara
Perumahan Rakyat No 4/KPTS/BKP4 N/1995).
4. Rumah
sangat sederhana adalah, rumah tidak bersusun yang pada tahap
awalnya yang
menggunakan bahan bangunan berkualitas sangat sederhaa
dan dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum, dan fasilitas
sosial
(peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.54/PRT/1991 tentang
pedoman teknik
pembangunan perumahan sangat sederhana).
Rumah susun
menurut UU.No.16 Tahun 1992 didefinisikan sebagai:
Bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang
terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah
horizontal
maupun vertical dan merupakan yang masing-masing dapat dimiliki
75
dan digunakan
secara terbuka terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi
dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Rumah susun
dapat dibagi kedalam 2 tipe yaitu:
a. Rumah susun
mewah adalah: bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan
secara fungsional dalam arah horizontal, maupun vertikal
dan merupakan
yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah,
terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda
bersama, dan tanah bersama, yang diperuntukkan bagi
masyarakat
golongan berpendapatan menengah keatas. (UU.No.16 Tahun
1992 Tentang
Rumah Susun).
b. Rumah susun
sederhana adalah: Bangunan gedung bertingkat yang
dibangun
dengan menggunakan bahan bangunan berkualitas sederhana
dan ukuran
relatif kecil memenuhi syarat teknis dalam suatu lingkungan
yang terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan yang dilengkapai
dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama (perturan
pemerintah
No.4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun).
Dalam buku
agenda 21 Indonesia Strategi Nasional untuk Pembangunan
Berkelanjutaan
permukiman memiliki arti yang lebih luas dan tidak dapat
dipisahkan
dari pengertian rumah; yaitu permukiman diartikan sebagai kawasan
perkotaan
maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.
Permukiman harus diwujudkan selaras dengan fungsi ekologis,
lapangan
kerja, pelayanan dan transportasi.Di sini tercermin bahwa permukiman
harus dapat
memenuhi aspek fisik dan non fisik dari penghuninya dan dapat
menampung
dinamika yang berkembang di dalamnya.
2.1.8.2.
Permukiman / Kampung Kumuh (Slum) dan
Hunian Liar
Menurut
Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil)
permukiman
kumuh (slum) dapat diklasifikasikan ke dalam dua klasifikasi yaitu :
1. Fisik :
76
a. Berpenghuni
padat > 500 orang/Ha
b. Tata letak
bangunan (kondisinya buruk dan tidak memadai)
c. Kondisi
konstruksi (kondisinya buruk dan tidak memadai)
d. Ventilasi
(tidak ada, kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai)
e. Kepadatan
bangunan (kondisinya buruk dan tidak memadai)
f. Keadaan
jalan (kondisinya buruk dan tidak memadai)
g. Drainase
(tidak ada dan kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai)
h. Persediaan
air Bersih (tidak tersedia, kalau tersedia kwalitasnya
kurang baik
dan terbatas, tidak/kurang lancar)
i. Pembuangan
limbah manusia dan sampah (tidak tersedia, kalau
tersedia
kondisinya buruk atau tidak memadai).
Dari poin b
sampai dengan poin i kondisinya buruk atau tidak memadai.
2. Non Fisik :
a. Tingkat
kehidupan Sosial ekonomi rendah
b. Pendidikan
didominasi SLTP ke bawah
c. Mata
pencaharian bertumpu pada sektor informal
d. Disiplin
warga rendah
e. Dll.
Menurut Ditjen
Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah
perkampungan
kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah
sebagai
berikut
1. Sebagian
besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan
rendah, serta
memiliki sistem sosial yang rentan.
2. Sebagaian
besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor
informal
Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya
di bawah
standar minimal sebagai tempat bermukim,
misalnya
memiliki:
a. Kepadatan
penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b..Kepadatan
bangunan > 110 bangunan/Ha.
c. Kondisi
prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase,
dan
persampahan).
d. Kondisi
fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun
<20% dari
luas persampahan.
e. Kondisi
bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi
syarat minimal
untuk tempat tinggal.
f Permukiman
rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan
keamanan.
77
g. Kawasan
permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan
ancaman (fisik
dan non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
Sementara itu
menurut Sinulingga Budi D. (1999: 112), permukiman
kumuh
(slum)
adalah permukiman dengan ciri–ciri sebagai berikut:. Penduduk padat
>400
orang/Ha, kondisi sarana lingkungan , sanitasi, fasilitas perkotaan jauh dari
standar kota
yang baik.
Perumahan yang
tidak teratur diperkotaan dapat dibedakan ke dalam dua
kategori,
yaitu; tipe kampung dan tipe perumahan liar (Yudhohusodo, 1991: 5).
Perbedaan di
antara keduanya adalah pada status pembangunan rumahnya.
Rumah-rumah
kampung dibangun di atas tanah yang telah dimiliki, disewa atau
dipinjam dari
pemiliknya. Dengan demikian , pembangunan rumah di kampung
dilakukan
dengan setahu dan seizin pemilik tanahnya. Sedangkan rumah–rumah
di perumahan
liar dibangun secara illegal, tanpa setahu dan seizin pemilik
tanahnya.
Pengertian liar di sini tidak dikaitkan dengan ada atau tidaknya izin
mendirikan
bangunan dari pemerintah. Rumah-rumah di kampung ada yang
memiliki izin
mendirikan bangunan ada yang tidak.
Kampung
sendiri diartikan sebagai lingkungan suatu masyarakat yang sudah
mapan yang
terdiri dari masyarakat tergolong berpenghasilan rendah dan
menengah, yang
pada umumnya tidak memiliki prasarana utilitas dan fasilitas
sosial yang
cukup baik jumlahnya maupun kualitasnya.
Di dalam
program KIP (Surabaya), Kampung mempunyai arti yang lebih
luas yaitu :
a. Kampung
adalah bukan permukiman kumuh atau liar; ia merupakan
lanjutan dan
perkembangan perumahan mandiri, umumnya pada
lahan milik
tradisi
b. Kampung
merupakan konsep pribumi tentang perumahan dan
masyarakat dalam
beragam ukuran, bentuk dan kepadatan
78
c. Kampung
letaknya strategis di bagian kota, memberi kesempatan luas
mencapai
berbagai kesempatan kerja.
d. Kampung di
dalamnya tergalang beragam industri rumahtangga dan
menghasilkan
barang dan pelayanan siap pakai.
e. Kampung
memberi perumahan pada dua pertiga penduduk kota,
menawarkan
beragam standar perumahan pada berbagai tingkat harga,
utamanya bagi
keluarga berpenghasilan rendah dan menengah
(Surabaya
a City of Partnership,1993: 8 - 9)
Sedangkan
Perumahan liar pada umumnya tumbuh agak jauh dari jalan
kendaraan, di
pinggir-pinggir atau bantaran sungai, di sepanjang jalan kereta api,
dan dekat
stasiun kereta api, di sekitar pasar, dan di tanah-tanah kosong . Daerah
tersebut pada
umumnya merupakan tanah yang belum digunakan, ditinggalkan
atau yang
tidak diawasi oleh pemiliknya, dan tanah-tanah yang semestinya tidak
boleh
didirikan bangunan. Penghuni nya adalah penduduk pendatang yang pada
umumnya dari
desa atau dari kota-kota lain, yang berpenghasilan rendah bahkan
sangat rendah.
Pada umumnya mereka tinggal di gubuk-gubuk yang tak layak
huni.
Kampung-kampung inilah yang kemudian membentuk kawasan atau
permukiman
kumuh (slum ).
2.1.8.3.
Lingkungan Permukiman
Penataan
lingkungan merupakan faktor sangat penting dalam usaha perbaikan
permukiman.
Sebagus apapun perbaikan permukiman tanpa memperhatikan
penataan
lingkungan akan sia-sia. Sekalipun tempat tinggal, jalan, penerangan dan
lain-lain
sudah memadai, akan tetapi apabila faktor lingkungan diabaikan, maka
permukiman
akan terlihat kotor dan berkesan jorok bahkan yang sudah tertata rapi
akan menjadi
kumuh kembali. Selain itu lingkungan yang buruk menyebabkan
timbulnya
berbagai penyakit.
79
Penataan
lingkungan baik secara invidividuil seperti sistem sanitasi di
rumah-rumah
(tersedianya saluran pipa air bersih , MCK), maupun penataan
lingkungan
dalam skala yang lebih luas seperti penyediaan air bersih, saluran
pematusan
(drainase), pembuangan air limbah serta pembuangan sampah adalah
sangat
penting. Oleh karena itu salah satu indikator berhasil atau tidaknya
perbaikan
permukiman adalah peningkatan kualitas lingkungan yang dapat diukur
dengan ada
atau tidak serta baik atau buruknya fasilitas-fasilitas sanitasi tersebut
di atas.
2.1.8.4.
Pembangunan Kota Berkelanjutan.
Pembangunan
dan perbaikan kota di Indonesia pada umumnya masih
dipecahkan
melalui cara berfikir dan bertindak tradisional dan konvensional atau
boleh
dikatakan simtomatis : yaitu pembangunan atau perbaikan dilakukan
apabila timbul
masalah atau kerusakan saja. Maka dari itu di dalam pembangunan
atau perbaikan
kota di Indonesia perlu cara-cara berfikir baru yang memadu caracara
bertindak yang
kreatif, inovatif sarat dengan gagasan segar, agar kota-kota di
Indonesia
dapat betul-betul berkelanjutan. Lebih lanjut pembangunan
berkelanjutan
diartikan sebagai (Budihardjo, 1999: 17):
Pembangunan
yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengabaikan
kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan
mereka kebutuhan
mereka. Namun di dalam konsep ini masih perlu diungkapkan
berbagai
perkembangan gagasan pemikiran dan konsep baru tentang
keberlanjutan.
Sementara itu pembangunan kota yang berkelanjutan harus
menjamin agar
tujuan pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan
80
mencapai hasil
seperti yang diharapkan. Tujuan dari pembangunan kota yang
berkelanjutan
adalah (Laboratorium Perumahan & Pemukiman – ITS & LPM –
ITS, 2000 )
a. Menjamin
tingkat kehidupan dan penghidupan warga kota yang
layak melalui
penciptaan lapangan kerja, karena pertumbuhan
ekonomi kota
yang kuat dan mantap
b. Tingkat
kemiskinan warga kota yang terus turun. Ini dicapai
melalui
pelibatan masyarakat secara luas melalui promosi
pembangunan
yang merata dan adil
c. Melindungi
lingkungan hidup melalui pelestarian sumber daya dan
meminimalisasi
pencemaran dalam segala bidang.
Selanjutnya di
dalam pembangunan kota berkelanjutan ini perlu adanya
integrasi yang
efektif dari pertumbuhan, pemberdayaan masyarakat yang
menciptakan
kemandirian (self - empowerment)
serta pemerataan dan lingkungan
yang tidak
rusak.sebagaimana digambarkan pada Gambar berikut :
Sumber
: Laboratorium Perumahan & Pemukiman-ITS
& LPM-ITS,2000
Gambar 2.7. BAGAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Menurut Swasono
(2004, c) pada hakikatnya secara mendalam dapat
dikaji bahwa
tidak selalu growth (pertumbuhan)
yang mendorong terciptanya
empowerment
(pemberdayaan)
melainkan empowerment lah
akan menciptakan
GROWTH
EMPOWERMENT
EQUITY
81
peningkatan
produktivitas dan pada gilirananya akan mendorong terjadinya
growth.
Sedangkan empowerment yang
menghasilkan self-empowerment yang
merata yang
dapat mendorong terjadinya growth atau
pertumbuhan yang merata
dan pada
akhirnya akan mendorong terciptanya equity atau
pemerataan.
Dari berbagai
rangkuman konsep berkelanjutan didefinisikan sebagai
(Laboratorium
Perumahan & Pemukiman – ITS & LPM – ITS, 2000 ) :
a. Konsep umum
yaitu : pembangunan yang memenuhi keperluan saat ini
tanpa
mengalahkan kemampuan generasi mendatang memenuhi yang
diperlukannya.
b. Menurut
para biolog adalah upaya menghemat dan menyelamatkan modal
alam atas nama
generasi mendatang.
c. Para ekonom
lebih tertarik mengembangkan instrumen guna dapat
memasukkan
biaya lingkungan ke dalam aktivitas industri dan ekonomi
melalui
intervensi pemerintah terhadap pasar
d. Para
sosiolog lebih banyak berbicara tentang keberlanjutan umat manusia
yang tercermin
pada menurunnya kemiskinan dan hilangnya rasialisme
dalam
lingkungan.
e. Para
perencana kota melihat upaya praktis dalam perencanaan regional,
masyarakat dan
neighbourhood atau rukun
warga.Intinya adalah
menyatukan
kota dan lingkungan secara luar biasa.
f. Ahli etika
lingkungan beranggapan bahwa bersikap preservasi (lebih
menekankanpada
kerusakan) sebagai prinsip sumber daya alam jauh lebih
superior dari
pda konservasi (lebih menekankan pada faktor kehilangan)
dan
eksploitasi.
Dari segi
ekonomi selain pengembangan instrumen guna dapat memasukkan
biaya
lingkungan ke dalam aktivitas industri, juga pentingnya usaha
pemberdayaan
rakyat untuk peningkatan produktivitasnya agar mereka mampu
meningkatkan
daya-belinya sehingga mereka mampu meraih “nilai-tambah
ekonomi_
dan sekaligus “nilai tambah- sosial_ dan
mampu menolong dirinya
sendiri (self-empowering).
Dengan demikian secara konkret mereka dapat
menjadi asset
pembangunan berkelanjutan.(Swasono, 2004,
c).
82
Winoto dalam
Sinulingga (1999: 219) didalam paradigmanya (yang sedang
dalam proses
perkembangan) mengatakan bahwa, pencapaian pembangunan
berkelanjutan
membutuhkan tujuh hal yaitu :
a. Sistem
politik yang menjamin partisipasi efektif dan aman bagi warga
negara dalam
proses pengambilan keputusan pembangunan.
b. Sistem
ekonomi yang mampu menciptakan surplus dan teknologi yang
berdasar pada
kebutuhan dan kemampuan masyarakat sendiri secara
berkelanjutan
c. Sistem
sosial yang memberikan media bagi anggota atau kelompok
masyarakat
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang lahir
akibat
ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh proses
pembangunan.
d. Sistem
produksi yang memperhatikan keberlangsungan ekosistem.
e. Adanya
sistem teknologi yang secara terus menerus mencari jawaban
terhadap
permasalahan-permasalahan riel yang dihadapi masyarakat.
f. Adanya
sistem internasional yang menjamin tercapainya sistem hubungan
perdagangan
yang adil antar negara dan antar kelompok masyarakat.
g. Sistem
administrasi yang fleksibel dan memiliki kemampuan untuk
mengoreksi
diri dari waktu ke waktu.
Pembangunan
berkelanjutan menurut Goodland, R. (1995: 24), dapat
dibedakan
menjadi 4; yaitu kelastarian lingkungan (enviremental
sustainability),
Keberlangsungan
ekonomi (economic sustainability),
kelestarian sosial (social
sustainability)
dan pembangunan berkelanjutan (sustainability
development) itu
sendiri. Dalam
hal ini pengertian pembangunan berkelanjutan merupakan
intergrasi
dari tiga aspek yaitu: kelestarian sosial, kelestarian lingkungan dan
keberlangsungan
ekonomi.
Menurut
Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi Tahun 2002, pembangunan
berkelanjutan
didefinisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang
memenuhi
kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi
mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya.
Sementara itu
tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara
untuk
meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumber daya alam secara
83
bijaksana,
sehingga sumber daya alam terbarukan (renewable)
dapat dilindungi
dan penggunaan
sumber alam yang dapat habis (tidak terbarukan / nonrenewable)
pada tingkat
di mana kebutuhan generasi mendatang tetap akan
terpenuhi.
Pembangunan
kota berkelanjutan juga diartikan sebagai pembangunan yang
harus mampu
memberikan jaminan untuk terus berkembang maju bagi
penduduknya,
demikian pula dalam memberikan fasilitas (akses) yang
memungkinkan
terjadinya mobilitas vertical (upward mobility)
bagi kelompok
miskin, di
samping tetap memberikan kontribusi terhadap kemajuan nasional
(World
Bank, World Development Report 2000).
Dari semua
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan
berkelanjutan
tidak hanya harus memperhatikan aspek ekonomi saja melainkan
juga harus
memperhatikan aspek sosial dan aspek ekologi.
2..1.8.5.
Usaha Perbaikan Kampung (Kampung Improvement Program
/
KIP )
Di Indonesia
program perbaikan kampung atau dikenal dengan KIP
(Kampung
Improvement Program) telah ada pada zaman pendjajahan. Program
KIP pertama di
Indonesia adalah program KIP yang dilaksanakan di Surabaya,
yaitu pada
tahun 1923. Pada waktu itu Program KIP diadakan untuk menanggapi
politis etis
dari kaum oposisi di Parlemen Belanda dengan tujuan untuk
melindungi
penduduk yang bermukim di dekat kampung yang pada umumnya
dihuni warga
Eropa dari bahaya epidemi. Orientasi KIP pada saat itu hanyalah
untuk
menangani aspek sanitasi kampung saja (Silas, 1996: 8).
84
Pada zaman
kemerdekaan , pada masa Orde Baru, KIP dilaksanakan kembali
(yaitu tahun
1968-1969), dengan menggunakan prinsip dasar yang sama yaitu
melayani
penduduk di kampung agar terjadi proses : pengadaan perumahan yang
memenuhi
syarat. Prioritas pertama adalah lingkungan yang baik, kemudian
berkembang
menjadi perumahan yang memenuhi infrastruktur lingkungan yang
baik. (Silas,
1996: 9).
Perang Dunia
ke II telah mengakibatkan rusaknya pemukiman dan
perumahan di
Kota Surabaya. Kerusakan ini berlanjut sampai dengan masa
revolusi
kemerdekaan (Th. 1945-Th. 1950). Pada era ini semua kegiatan dan
pembangunan
boleh dikatakan tidak ada, sampai dengan terselenggaranya
Konggres
Perumahan Rakyat Sehat (25-30 Agustus 1950), yang memutuskan
pemerintah
membentuk kelembagaan khusus dalam Kementrian Pekerjaan
Umum. Bentuk
nyata dari kelembagaan ini adalah dibentuknya Yayasan Kas
Pembangunan,
yang secara kooperatif dengan cara menabung memenuhi
kebutuhan
perumahan penduduk dan pegawai negeri yang penghasilannya
terbatas.
Pada tahun
1974, Pemerintah Indonesia menandatangani “Loan
Agreement _
dengan Bank
Dunia (world Bank) sebagai
bantuan untuk melaksanakan program
KIP yang
dimulai dari Jakarta kemudian disusul dengan Surabaya pada tahun
1976.
Selebihnya selama Pelita II Program Perbaikan Kampung dilaksanakan di
kota-kota
besar yang keuangannya cukup kuat untuk membiayai sendiri. Pada era
ini Program
Perbaikan kampung masih diutamakam pembangunan secara fisik.
Sejak PELITA
III Program Perbaikan Kampung tidak lagi hanya dipusatkan
pada perbaikan
fisik melainkan tujuan akhir perbaikan kampung adalah
85
meningkatkan
taraf hidup masyrakatnya. Sejalan dengan perbaikan fisik
lingkungannya,
(seperti pembangunan Saluran Pipa Air Bersih, Jalan Kendaraan,
Jalan Setapak,
MCK, Tempat Pembuangan Sampah, Saluran Pematusan, Pospos/
Klinik
Kesehatan, peningkatan Rata-rata Luas Ruangan rumah per penduduk
dengan
membangun rumah susun) diusahakan pula peningkatan ekonomi
masyarakatnya.
Selain itu untuk peningkatan kualitas hidup diwujudkan dengan
peningkatan
kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain tujuan
utama Program
Perbaikan Kampung (KIP) adalah bina lingkungan, bina manusia
(peningkatan
kualitas hidup), dan bina usaha (peningkatan ekonomi)
(Yudhohusodo,
1991: 312 ).
Di Surabaya
gagasan perbaikan kampung bersama masyarakat, terwujud
melalui
proyek-proyek pembangunan, perbaikan serta pemeliharaan. Proyek yang
pertama
dilaksanakan adalah Proyek W.R. Supratman yang dimulai pada tahun
1969-1974.
Realisasi pada proyek ini berupa perbaikan kampung didasarkan pada
penyediaan
plat beton cetak yang dapat diperoleh warga kampung dan yang
bersedia
melakukan pemasangan atas usaha masyarakat itu sendiri. Proyek ini
didanai
melalui anggaran Bagian Pemeliharaan Kota, sehingga besarnya tidak
dapat
dipastikan.
Proyek W.R.
Supratman ini berlanjut dari periode tahun 1974-1975
sampai dengan
periode 1982-1983. Pelaksanaan program awal dari KIP ini
bertujuan
untuk membantu aktifitas/kegiatan masyarakat pada umumnya dan
penghuni/warga
kampung khususnya di dalam memperbaiki dan memelihara
kampungnya,
dengan jalan memperbaiki fisik lingkungan yaitu menyediakan/
meningkatkan
prasarana pokok secara layak, yang meliputi:
86
a. jalan untuk
orang dan kendaraan termasuk kelengkapannya
b. saluran
pematusan
c. jaringan
air minum dengan kran air untuk minum
d. fasilitas
sanitasi untuk mandi, cuci, kakus (MCK)
e. fasilitas
kesehatan masyarakat
f. fasilitas
pendidikan dasar.
Secara rinci
realisasi Proyek Perbaikan Kampung (KIP) W.R.Supratman
dapat dilihat
melalui Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel
2.1.
REALISASI
PROYEK W.R.SUPRATMAN
TAHUN
1974/1975 S-D TAHUN 1982 / 1983
Tahun
Anggaran
Banyak
nya
Lokasi
Panjang
Jalan Aspal
(m 2)
Panjang Jalan
Pedestrian(m2)
Panjang
Saluran
(m2)
Panjang
Jembatan
(m 2)
Dam
Waduk
(unit)
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
55
68
48
68
93
96
156
92
47
8.567
14.170
14,425
15.490
29.810,5
21.010
39.510
25.853
21.177
---
---
---
1.027
750
927
----
----
----
1.061
----
----
46
505
1.553
3.915
4.036
4.390
.. ---
.---
55
----
----
1.230
----
----
----
---.
---.
54,60
---.
----
----
----
….
….
Sumber
: Program Perbaikan Kampung Di Surabaya
1969-1982, Pemerintah
Kotamadya
Daerah Tingkat II Surabaya.
Keterangan:
---- tidak terlaksana / tidak ada program.
Pada tahun
1998, Program Perbaikan Kampung di Surabaya mulai
disempurnakandengan
Program Perbaikan Kampung Komprehensif (KIP-K),
dengan
pendekatan yang memadukan antara Battom Up dan
Top Down. dengan
pendekatan
yang memadukan antara Battom Up dan Top
Down. Secara Umum
tujuan
implementasi Program Perbaikan Kampung Komprehensif (Laboratorium
Perumahan
& Permukiman ITS & LPM- ITS , 2000 ) adalah:
87
a.
meningkatkan infrastruktur dan kualitas lingkungan permukiman
kampung.
b.
meningkatkan status kepemilikan lahan rumah
c.
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan
d.
meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Pada tahun
2001, Program KIP-K dikembangkan lagi menjadi
pembangunan
yang selain merupakan pembangunan di bidang fisik lingkungan
permukiman
juga melaksanakan pembangunan di bidang sosial ekonomi
masyarakatnya
melalui kegiatan-kegiatan untuk pemberdayaan masyarakat,
sebagai upaya
untuk menggalang sinerji semua kekuatan masyarakat yang
diharapkan
dapat berperan aktif dalam pelaksanaan program pembangunan
permukiman.
Dengan demikian perbaikan kampung adalah bagian dari
pemberdayaan
golongan masyarakat rendah, di mana pemberdayaan dapat
diartikan
sebagai meningkatkan produktivitas: dibidang ekonomi (menciptakan
added
value) serta peranannya (role
nya) di masyarakat akan menciptakan sosiocultural
added
value). (Swasono, 2002)
Tujuan utama
KIP-K 2001 (Kampung Improvement Program
Komprehensif
2002, Jurusan Arsitektur ITS, 2002) adalah meningkatkan kualitas
hidup
masyarakat yang berorientasi pada pembangunan fisik dan non fisik
dilaksanakan
melalui:
1. Program
pengembangan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas
hidup warga
masyarakat diantaranya: peningkatan keterampilan/ usaha
kecil dan
kesehatan
2. Program
pinjaman rumahtangga; yaitu pinjaman perbaikan sarana
tempat
tinggal, untuk perbaikan fasilitas rumah seperti pembuatan
septic tank,
perbaikan dapur dan penyelesaian air bersih. Dapat pula
digunakan
untuk usaha ekonomis seperti warung dan usaha rumah
tangga
3. Program
perbaikan fisik lingkungan, yaitu bantuan murni untuk
memperbaiki
fisik lingkungan kampung meliputi: jalan setapak,
selokan, MCK
dan persampahan.
88
4. Program
peningkatan manajemen lahan, untuk membantu warga
memperoleh
izin mendirikan bangunan (IMB) dan sertifikat tanah.
Dengan
memberikan kemudahan bantuan dalam proses prosedur
pengurusan dan
pengajuan IMB serta sertifikat tanah.
Sasaran yang
hendak dicapai pada program ini adalah untuk :
1. Memperbaiki
tempat tinggal
2. Memperbaiki
fisik lingkungan
3.
Meningkatkan keterampilan
4. Memperoleh
kredit usaha
Pelaksanaan
KIP-K dibagi dalam 10 tahap terdiri dari 6 tahapan untuk persiapan
dan 4 tahapan
pelaksanaan. Enam tahapan persiapan terdiri dari :
1. Community
self survey.
2. Pembentukan
Kelembagaan terdiri
dari: Yayasan
Kampung, Koperasi Kelompok
Swadaya Warga.
3. Pelatihan
Manajemen Kelembagaan.
4.
Identifikasi calon anggota
Kelembagaan
Swadaya Warga
5. Penyusunan
Rencana Kegiatan.
6.
Penandatanganan Kesepakatan
Rencana
Kegiatan.
Tahapan
pelaksanaan terdiri 4 tahapan yaitu :
ii. Pencairan
Dana.
iii.
Pelaksanaan.
iv.
Monitoring.
v. Pelaporan.
Program KIP-K
dibiayai oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan dana yang
berasal dari
Dana Alokasi Umum (DAU). Dana implementasi Prpgram KIP-K ini
dimanfaatkan
dengan dua pola, yaitu :
a. Dana Hibah
(maksimal 30%).
89
b. Dana
Pinjaman Bergulir (nimal 70%).
Rincian
pemanfaatan dana pada KIP-K Tahun 2002 dan Tahun 2003 adalah
sebagai
berikut:
Tabel
2.2.
Pemanfaatan
Dana pada Program KIP-K
Tahun
2002 dan Tahun 2003
Alokasi
Dana
Hibah
Bergulir/pinjaman
Komponen
Program
Kegiatan
2002
2003 2002 2003
Perbaikan fisik
lingkungan
Pembangunan
jalan lingkungan,
normalisasi
saluran, MCK
umum,dll.
20 %
15 %
-----
-----
Penghijauan dan
kebersihan
lingkungan
Pembuatan lahan
produktif,
penanaman lahan
potensial,penyediaan
/ perbaikan
fasilitas
persampahan
2,5%
7,5%
-----
----
Pembentukan
Kelembagaan,
manajemen dan
operasional
Kelembagaan
7,5%
7,5%
-----
----
Pengembangan
Masyarakat /
SDM
Pelatihan
keterampilan ---- ---- 10 % 10 %
Pengembangan
Usaha Kecil
&
Menengah
Pelatihan
Pengembangan Usaha
dan pemberian
kredit lunak untuk
modal usaha
----
----
30 %
30 %
Perbaikan
rumah
Perbaikan
dapur, KM/WC,
sambungan air
bersih, pengurusan
IMB
----
----
30 %
30 %
Total
persentase alokasi dana
30
%
30
%
70
%
70
%
Sumber:
Booklet Umum, KIP-K 2002-2003, Tim Pendamping Masyarakat,
Jurusan
Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Ketrangan :
--- = tidak ada rencana maupun pelaksanaan
Catatan : a.
alokasi dana untuk hibah, ko,posisinya tidak kaku dan dimungkinkan
terjadinya
perbedaan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya dan me
rupakan
alokasi maksimum. Sisa dana hibah dapat dipindahkan ke
alokasi dana
bergulir / pinjaman.
b. alokasi
dana bergulir / pinjaman tidak dapat dipindahkan untuk dana
hibah
Menyimak
tujuan baik KIP-K awal maupun kelanjutannya adalah sesuai
dengan tujuan
MDG Indonesia ( Indonesia’s Mellenium Development Goals),
utamanya poin
1,2 dan 7 . Adapun poin 1.dari MDG Indonesia adalah
mennggulangi
kemiskinan dan kelaparan. Poin 2. mencapai pendidikan dasar
90
untuk
semuanya. Sedangkan poin 7. adalah memastikan keberlanjutan lingkungan
hidup.dengan
target: a. memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan kebijakan
dan program nasional, b. penurunan sebesar separuh penduduk
tanpa akses
terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta
fasilitas
sanitasi dasar pada tahun 2015, c. mencapai perbaikan yang berarti
dalam
kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.
Perbedaan
antara KIP awal dengan KIP Komprehensif (Laboratorium Perumahan
dan Pemukiman
ITS dan LPM ITS , 2000: V-13) adalah:
KIP awal lebih
diarahkan pada perbaikan prasarana fisik baik rumah
maupun
lingkungan kampung untuk peningkatan kesehatan msyarakat dan
aktifitas
penduduk yang berakibat meningkatkan ekonomi penduduk kampung.
Sedangkan KIP
Komprehensip adalah suatu program pembangunan yang
bertujuan
meningkatan kualitas hidup masyarakat. Yang berorientasi pada
pembangunan fisik
dan non fisik
Sasaran
pelaksanaan KIP-K mulai dari 1998/1999, tahun 2001, tahun 2002
dan tahun 2003
adalah sebagai berikut :
Pada Tahun
1998/1999, program KIP-K dilaksanakan di 15 Kelurahan :
1. Krembangan
Utara
2. Medokan Ayu
3. Gunung
Anyar Tambak
4. Pacar
Kembang
5. Semolowaru
6. Karah
7. Wonokromo
8. Jemur
Wonosari
9. Jajar
Tunggal
10. Pakis
11. Gadel
12. Sememi
13. Bangkingan
14. Simokerto
91
15. Gundih
Pada Tahun
2001 dilaksanakan di 4 Kalurahan
1. Sumur Welut
2. Penjaringan
Sari
3. Nginden
Jangkungan
4. Kejawan
Putih Tambak
Pada Tahun
2002 dilaksanakan di 6 Kelurahan :
1. Tembok
Dukuh
2. Banyu Urip
3. Kupang
Krajan
4. Simolawang
5. Sidotopo
Wetan
6. Wonorejo
Pada Tahun
2003 dilaksanakan di 8 Kelurahan :
1. Kenjeran
2. Keputih
3. Sukolilo
4. Gading
5. Pegirian
6. Pagesangan
7. Tandes Lor
8. Tandes
Kidul
Dalam
realisasi Program Perbaikan Lingkungan KIP-K ternyata tidak semua
program
terlaksana. Pada periode Tahun 1998/1998 (Tabel 2.3), hampir semua
program
Perbaikan Lingkungan terlaksana kecuali program penghijauan dan
pertamanan
tidak terlaksana.
Pada Tahun
2001 semua program Perbaikan fisik Lingkungan terlaksana kecuali
pembangunan/perbaikan
MCK Pada Tahun 2002 dan Tahun 2003 semua
program
Perbaikan Lingkungan dilaksanakan. Sekalipun perbaikan/pembangunan
jalan kampung,
perbaikan/pembangunan saluran/gotkampung, perbaikan/
pembangunan
persampahan, pembangunan pertamanan jumlahnya lebih banyak
92
dibanding
realisasi program pada tahun-tahun sebelumnya, namun pada tahun
2002 dan tahun
2003, perbaikan MCK lebih kecil dibandingkan dengan tahuntahun
sebelumnya.
Tabel
2.3.
REALISASI
PROGRAM PERBAIKAN FISIK LINGKUNGAN
KIP-K
Di KOTA SURABAYA TAHUN 1998-TAHUN 2003
Perbaikan
Tahun Fisik Lingkungan
JK (m2)
SK (m2) PS (m2)
MCK (unit) T/P (unit)
1998/1998
7.224,60
5.484,00
1.241
10
0
2001
1.997.00
1.166.00
148
0
2
2002
6.528.50
541.00
211
3
305
2003
2.442.37
1.099.70
666
2
2..408
Sumber
: Yayasan Kampung dan KSU di 33 Kelurahan
Keterangan :
JK = Jalan Kampung
SK =
Saluran/Got Kampung
PS =
Persampahan
MCK = Mandi,
Cuci, Kakus
T/P =
Taman/Penghijauan
Pada Program
Pengembangan Masyarakat tidak semua program
terlaksanakan
Pada Tahun 1998/1999 semua program Pengembangan Masyarakat
terlaksana.
Namun pada Tahun 2001 Pelatihan Kesehatan Lingkungan tidak
terlaksana
Pada Tahun 2002 ada dua program yang tidak terlaksana yaitu;
Pelatihan
Kesehatan Lingkungan dan Pelatihan Usaha Kecil. Sementara ada 3
program yaitu;
Kursus Keterampilan, Pelatihan Kesehatan Lingkungan dan
Pelatihan
Usaha kecil yang tidak terlaksana pada tahun 2003. Kegiatan terbanyak
dari periode
1998/199, tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 adalah pemberian
kredit usaha.
Kursus keterampilan terbanyak hanya dilaksanakan pada periode
tahun
1998/1999 dan pada Tahun. 2003 bahkan tidak dilaksanakan. Realisasi
93
Program
Pengembangan Masyarakat KIP-K tahun 2002 dan 2003 dapat dilihat
pada Tabel
2.4. pada halaman 93.
Tabel
2.4.
REALISASI
PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
KIP-K
DI SURABAYA
TAHUN
1998/1999, TH..2001,TH.2002, TH.2003
Pengembangan
Tahun Masyarakat
KUK
(unit)
KK
(unit)
P-Lbg
(Kegiatan)
P-KL
(Kegiatan)
P-UK
(Kegiatan)
1998/1999
2.112
609
59
41
3
2001
604
12
11
0
2
2002
1.598
13
13
0
0
2003
2.438
0
8
0
0
Sumber
: Yayasan Kampung dan Ksu di 33 Kalurahan.
Keterangan :
KUK = Kredit Usaha Kecil
KK = Kursus
Keterampilan
P-Lbg =
Pelatihan Kelembagaan
P-KL =
Pelatuhan Kesehatan Lingkungan
P-UK =
Pelatihan Usaha Kecil
Seperti halnya
program Perbaikan Fisik Lingkungan dan Pengembangan
Masyarakat
dalam KIP-K, Program Manajemen Lahan dan Perbaikan Rumah
tidak semua
program yang direncanakan terlaksana. Pada Tahun 1998/1999,
semua program
terlaksana. Pada tahun-tahun selanjutnya selalu ada program yang
tidak
terlaksana.
Pada Tahun
2001, program bantuan pengurusan IMB tidak terlaksana. Pada
Tahun 2002
sebagaimana Tahun 1998/1999 semua program terlaksana.
Sebaliknya
pada Tahun 2003 ada tiga program yang tidak terlaksana, yaitu
program
bantuan pengurusan sertifikat dan bantuan pengurusan IMB serta
94
program
perbaikan dapur tidak terlaksana. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 2.5.
pada halaman 94.
Tabel
2.5.
REALISASI
PROGRAM MANAJEMEN LAHAN DAN
PERBAIKAN
RUMAH KIP-K DI SURABAYA TH.1998/1999,
TH.
2001, TH.2002, Th.2003
Managjemen
Lahan
Perbaikan
Tahun Rumah
ST
(persil)
IMB
(persil)
PR
(unit)
PD
(unit)
PMCK
(unit)
SAB
(unit)
1998/1999
1.035
264
1.507
236
245
588
2001
17
0
145
26
13
60
2002
16
3
117
27
21
72
2003
0
0
77
0
1
2
Sumber
: Yayasan Kampung dan KSU di Surabaya
Keterangan :
ST = Bantuan Pengurusan Sertifikat Tanah
IMB = Bantuan
Pengurusan IMB
PR = Perbaikan
Rumah
PD = Perbaikan
Dapur
PMCK =
Perbaikan MCK
2.1.9.
Teori Kesehatan Lingkungan
Lingkungan
Hidup menurut U.U. RI. Nomer 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan
lingkungan hidup, (Mukono, 2000: 8) adalah:
Kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup,
termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup
lainnya
Kesehatan
lingkungan pada permukiman atau perumahan sangat dipengaruhi oleh
kondisi
ekonomi, sosial, pendidikan, tradisi/kebiasaan, suku geografi dan kondisi
lokal.(Mukono,
2000: 155). Selanjutnya menurut Mukono, selain itu lingkungan
permukiman /
perumahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menentukan
95
kualitas lingkungan
pemukiman tersebut, yaitu fasilitas pelayanan, perlengkapan,
peralatan yang
dapat menunjang terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan
mental,
kesehatan sosial bagi individu dan keluarganya.
Sementara itu
Blum (1981: 4) mengemukakan teorinya bahwa kesehatan
(well-being/health)
itu ditentukan oleh 4 faktor, yaitu 1. Faktor lingkungan, 2
gaya hidup (life-style),
3 faktor genetic (genetic factors)
dan 4 pelayanan
kesehatan (medical
care services). Di negara-negara yang sedang berkembang
yang paling
menentukan derajat kesehatan adalah faktor lingkungan diikuti
kemudian
berturut-turut oleh faktor gaya hidup, faktor genetik dan terakhir oleh
faktor
pelayanan kesehatan. Menurut Blum semakin maju dan kaya suatu
masyarakat
maka faktor yang menentukan tingginya derajat kesehatan bergeser
dari faktor
lingkungan menjadi faktor gaya hidup. Hal ini terbukti di negaranegara
maju di mana
lingkungan hidup sudah tertata, gaya hidup merupakan
faktor
terpenting yang mempengaruhi kesehatan masyarakatnya.
2.2.
Hasil Penelitian Terdahulu
Ismail, (th.
2000) masalah yang dikemukakan dalam penelitiannya yang
berjudul“Karakteristik
Sosial Ekonomi Masyarakat Miskin Perkampungan
Kumuh
di Yogyakarta dan Surabaya_ adalah
siapa yang akan ditanggulangi
(diberdayakan),
jenis penanggulangan yang bagaimana yang harus diberikan.
Dalam
penanggulangan tersebut instansi ataukah kelompok masyarakat, yang
mana yang
harus dilibatkan serta bagaimana dan dalam apa mereka dilibatkan.
Tujuan utama
penelitiannya adalah: 1 mengkaji karakteristik sosial ekonomi
masyarakat
miskin perkampungan kumuh; 2 mengkaji jenis usaha yang sudah,
96
sedang dan
akan dikembangkan oleh masyarakat miskin perkampungan kumuh; 3
menganalisis
tingkat keberhasilan program penanggulangan kemiskinan
masyarakat perkampungan
kumuh terhadap pengembangan usaha yang mereka
lakukan. Studi
ini dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep kemiskinan,
ukuran
kemiskinan, kampung kumuh, pemberdayaan dan metode pemberdayaan.
Hasil studi
mengungkapkan bahwa akibat krisis ekonomi, ternyata tidak hanya
kemiskinan
masyarakat perkampungan kumuh saja yang harus ditanggulangi
(diberdayakan),
melainkan juga masyarakat yang kena PHK dan mereka yang
tidak
mempunyai pekerjaan di Kalurahan Keparakan.
Di dalam
disertasinya Indrayana (2000), menganalisis Perbaikan Permukiman
berkepadatan
tinggi dan yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilkan rendah dari
sisi
kesehatan. Masalah yang dikemukakan adalah apakah perbaikan sarana
prasarana
serta fasilitas fisik di permukiman berkepadatan tinggi serta dihuni oleh
masyarkat
berpenghasilan rendah menurunkan angka kesakitan. Lebih lanjut
dianalisis
juga peran serta masyarkat apakah cukup berarti di dalam menurunkan
angka
kesakitan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi penyakit
yang terkait
dengan waterborn diseases
dan airborn diseases sesudah
KIP
menurun
11,50%. Semula frekuensi penyakit sebelum KIP 874 kejadian dan
setelah KIP
797 kejadian.
Hasil
penelitian Masjkuri, Siti U. (1992). yang berjudul Permintaan
Rumah
Susun
Sederhana di Daerah Tingkat II Kota Surabaya, menunjukkan
bahwa
rumah susun
yang dijual bebas kurang diminati masyarakat miskin, karena selain
harga tidak
terjangkau juga dianggap kurang nyaman untuk ditempati (terlalu
sempit). Sementara
rumah susun sewa serta pengganti dari pemerintah sebagian
97
(27 %) dialih
hunikan oleh penghuninya kepada orang lain, dan kemudian mereka
pindah
berkumuh di tempat lain. Kondisi seperti ini disebabkan secara ekonomi
mereka tidak
mampu untuk menanggung biaya-biaya perumahan yang harus
ditanggung.
Sehingga program penempatan penduduk menjadi penggusuran
secara tidak
sengaja dan tidak kentara.
Hadi, (2003 )
dalam skripsinya yang berjudul Permintaan Rumah Susun Sewa
Waru Gunung,
menyatakan dalam hasil penelitiannya ternyata harga (biaya hak
hunian) sangat
dominan mempengaruhi permintaan rumah susun sewa tersebut.
Di dalam
kenyataannya rumah susun sewa banyak yang dialih hunikan dengan
imbalan
sejumlah uang, imbalan inilah yang dominan mempengaruhi permintaan
rumah susun.,
sehingga perlu adanya monitoring yang lebih ketat agar tidak
terjadi
praktek alih huni seperti yang biasa terjadi.
Beberapa
temuan dalam penelitian Ismail, (2000) yang berjudul
Penanggulangan
Kemiskinan Masyarakat Perkampungan Kumuh di Perkotaan :
Kasus
Yogyakarta dan Surabaya adalah : Kemiskinan bukan saja berdemensi
ekonomi tetapi
juga berdemensi sosial, budaya dan politik. Dilihat dari demensi
ekonomi, maka
pemberdayaan masyarakat miskin sehingga terangkat dari
kemiskinan
sama halnya dengan pemberdayaan ekonomi mereka. Pemberdayaan
ekonomi sama
artinya dengan pemberdayaan faktor-faktor produksi yang ada
pada mereka
seperti tenaga kerja, kapital, tanah, keahlian dan informasi.
Selanjutnya
ditemukan 99% dari responden di Yogyakarta dan Surabaya tidak
pernah
mendapatkan pelatihan atas sponsor dari pemerintah dengan kondisi
semacam ini,
sulit bagi masyarakat miskin di perkotaan mampu meningkatkan
potensi
keterampilan mereka.
98
Hasil
penelitian Masloman, (1999) dengan judul “ Pengembangan
Pemukiman
RS Dan RSS Di Kotamadya Manado, menemukan kenyataan
bahwa
Rumah Sangat
Sederhana (RSS) Di Kota Madya Manado dipandang sebagai
barang
superior bagi para konsumennya sedangkan Rumah Sederhana (RS)
menjadi barang
inferior. Kenyataan menunjukkan bahwa rumah tangga konsumen
RSS adalah
mereka yang berpendapatan pas–pasan. Sementara itu konsumen
yang
pendapatannya berlebih berperilaku spekulatif dalam permintaan RSS. Hal
yang demikian
ini memberikan kosekuensi logis, bahwa seharusnya para
pengembang
perumahan lebih memprioritaskan membangun RSS daripada RS.
Wibowo, (2004)
dalam tesis nya yang berjudul Kajian Partisipasi
Masyarakat
Dalam
Program Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan Dan Nelayan (P2K2PN)
mengemukakan
bahwa Program Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan dan
Nelayan di
Kota Bandung belum memadai, untuk itu penelitian nya ditujukan
untuk
mengungkapkan partisipasi masyarakat dalam P2K2PN. Hasil dari
penelitiannya
adalah: pelaksanaan P2K2PN belum mencapai tujuan dalam
melibatkan
masyarakat secara aktif mulai tahap perencanaan sampai pengelolaan..
Sebagian besar
masyarakat kurang aktif berpartisipasi pada tahap program, hal ini
dipengaruhi
oleh keterbatasan dukungan dari pelaku program yang meliputi
pemerintah,
pelaksana, Fasilitator dan masyarakat.
Hasil temuan
penelitian yang dilakukan oleh Turua, (1992) dengan judul
“Pengaruh
Urbanisasi Pemukiman Penduduk Kelurahan Asano Kecamatan
Abepura“
Irja, adalah penduduk yang berasal dari desa sebagian besar
berpendidikan
rendah dan bekerja di sektor pertanian. Setelah tinggal di kota, 50
% dari mereka
masih bekerja di sektor yang sama yaitu pertanian dan menjadi
99
buruh dan
berpenghasilan rendah. Secara umum penduduk pendatang sulit untuk
bersaing
dengan cara hidup masyarakat kota. Rumah tinggal yang ditempati bila
dilihat dari
segi kondisi fisik rumah tinggal dan dukungannya terhadap kesehatan
sangat
memprihatinkan, amat sederhana dan kurang memenuhi syarat.
Akbar, (2001),
di dalam tesis nya mengkaji sejauh mana Program P3DT
terhadap
interaksi desa kota melalui 4 aspek kemudahan masyarakat di dalam: 1
melakukan
pergerakan ke kota; 2 Pemasaran komoditas pertanian; 3 Memperoleh
input
produksi pertanian, dan 4 memperoleh produk industri perkotaan.
Hasil dari
penelitian ini
membuktikan bahwa masyarakat memperoleh manfaat yang positif
dari program
P3DT yang telah dilaksanakan di desa-desa tertinggal.
Tujuan dari
penelitian Sunarti (2001), yang berjudul Peningkatan
Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada
Kelompok
yang dituangkan ke dalam tesisnya adalah: membuat usulan dalam
upaya untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan P2BPK
khususnya di
Kota Semarang. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa Program
P2BPK kurang
berhasil. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang
pembangunan rumah, penghasilan yang pas-pasan, pola jam kerja yang
tidak teratur
sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang. Untuk itu usulan
yang diusulkan
adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga
tingkat
pengendalian dalam penuh, maka masyarakat perlu diberi
pendidikan dan
pelatihan tentang pembangunan perumahan, masyarakat ikut
bertanggung
jawab melakukan kegiatan yang telah disepakati bersama,
masyarakat
meluangkan waktunya untuk membangun rumah .
100
Dalam
penelitiannya Tjitroresmi (1998) ingin mengetahui kondisi sosial
ekonomi
masyarakat miskin perkampungan kumuh didalam memenuhi kebutuhan
pokok rumah
tangganya.Temuannya menunjukkan bahwa pada tahun 1998, 35%
masyarakat
Perkampungan kumuh di Surabaya berpendapatan di bawah Rp
150.000,-
sebulan, sementara itu hanya 25% dari mereka yang pengeluarannya
dibawah Rp
150.000,-. Dengan demikian sebagian masyarakat ada yang
pengeluarannya
lebih tinggi daripada pendapatannya. Kesimpulan yang ditarik
dari hasil
penelitiannya mengenai masyarakat miskin adalah adanya beberapa tipe
orang miskin;
yaitu 1. orang yang miskin karena memang serba kekurangan atau
menderita
kemiskinan sejak muda sampai tua. 2. Orang yang miskin secara
periodik
(musiman). 3. Ada orang miskin yang pasrah pada nasib dan keadaan
karena memang
setiap mencoba usaha baru selalu gagal. 4 ada juga orang yang
walaupun dalam
kondisi krisis ekonomi yang cenderung menurunkan pendapatan,
mereka masih bisa bertahan hidup
dengan berbagai cara dan upaya.