Kamis, 10 Mei 2012

makna pembangunan nasional


Makna pembangunan nasional
Sejak tahun 1970 pembangunan ekonomi mengalami redefinisi. Sejak tahun
tersebut muncul pandangan baru yaitu tujuan utama dari usaha-usaha
pembangunan ekonomi tidak lagi menciptakan tingkat pertumbuhan GNP yang
setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan,
penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam
konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro 2004: 21). Sesuai dengan
tujuan pembangunan tersebut pembangunan suatu negara boleh dikatakan tidak
berhasil apabila tidak dapat mengurangi kemiskinan, memperkecil ketimpangan
pendapatan serta menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi penduduknya.
Untuk mengukur keberhasilan pembangunan tidak cukup hanya menggunakan
tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus didukung oleh indikator-indikator
sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat melek huruf, tingkat pendidikan,
kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan akan kebutuhan
perumahan . Selanjutnya menurut Todaro, ada tiga nilai inti dari pembangunan
yaitu :
31
32
1. Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan
dasar (basic needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan
dan keamanan.
2. Jati diri, menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya
dorongan-dorongan dari diri sendiri untuk maju , untuk menghargai diri
sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar
sesuatu.
3. Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan di sini
hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak
sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek- aspek materiil dalam
kehidupan
Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang
sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan
mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi
nasional, di samping mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi, penanganan
ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.
Menurut Sen dalam Ackerman (2000: 154-155) berpendapat bahwa
kapabilitas untuk dapat berfungsi (capabilities to function) adalah yang paling
menentukan status miskin atau tidaknya seseorang. Selanjutnya menurut Sen
pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan
akhir. Pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas
kehidupan yang dijalani dan kebebasan yang dinikmati. Dengan demikian tingkat
kemiskinan tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan atau bahkan dari utilitas
seperti pemahaman konvensional; yang paling penting bukanlah apa yang
33
dimiliki seseorang ataupun kepuasan yang ditimbulkan dari barang-barang
tersebut, melainkan apakah yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan barangbarang
tersebut. yang berpengaruh terhadap kesejahteraan bukan hanya
karakteristik komoditi yang dikonsumsi, seperti dalam pendekatan utilitas, tetapi
manfaat apa yang dapat diambil oleh konsumen dari komoditi-komoditi tersebut
(Todaro, 2004: 22). Selanjutnya Todaro mengatakan bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1. Berkembangnya
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), 2.
Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan
3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from
servitude).
Sementara itu Swasono (2004 a.: 13) dalam bukunya berjudul Kebersamaan
dan Asas Kekeluargaan mengatakan Pembangunan ekonomi berdasarkan
Demokrasi Ekonomi adalah pembangunan yang partisipatori dan sekaligus
emansipatori. Selanjutnya Swasono mengatakan bahwa pembangunan ekonomi
bukan saja berarti kenaikan pendapatan, tetapi juga kenaikan pemilikan
(entitlement). Pembangunan ekonomi bukan hanya koelie yang naik upah /
gajinya, tetapi adalah meningkat / meluasnya pemartabatan, pengingkatan nilaitambah
ekonomi dan sekaligus nilai tambah sosial-kultural, sang koelie menjadi
mitra usaha dalam system triple co, yaitu co-owwnership (ikut memiliki), codetermination
(ikut menggariskan wisdom) dan co-responsibility (ikut
bertanggungjawab)
34
Dengan demikian :
Development is social progress. Development is growth and
resdistribution., Development is expansion of people’s participation
and emancipation, development is expansion of people’s
creativity, development is people’s entitlement. Development
produces economic added- value and at once socio-cultural addedvalue
as well"
Menurut Human Development Report (2000: 3 b.) menyatakan:
“Development should begin with the fulfillment of the basic
material needs of an individual including food, clothing, and
shelter, and gradually reach the highest level of self-fulfillment.
The most critical form of self-fulfillment include leading a long and
healthy life, being educated, and enjoying a decent standard of
living. Human development is a multidimensional concept
comparising four demension, economic, social-psyhological,
political and spiritual.
Oleh karena itu pembangunan manusia tidak hanya mencakup pemenuhan
kebutuhan pokok saja, melainkan merupakan konsep multidemensi; yaitu
gabungan antara 4 demensi; demensi ekonomi, sosial-psichologi, politik dan
spiritual.
2.1.1.1. Tujuan Inti dan Strategi Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu
masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi
proses sosial, ekonomi dan institusional, demi mencapai kehidupan yang serba
lebih baik. Untuk mencapai “kehidupan yang serba lebih baik” semua masyarakat
minimal harus memiliki tiga tujuan inti sebagai berikut (Todaro, 2000: 24)
1. Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam
barang kebutuhan hidup yang pokok , seperti pangan , sandang, papan,
kesehatan dan perlindungan keamanan.
35
2. Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan
pendapatan tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja,
perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilainilai
kultural dan kemanusiaan, yang kesemua itu tidak hanya untuk
memperbaiki kesejahteraan materiil , melainkan juga menumbuhkan jati
diri pribadi dan bangsa yang bersangkutan.
3. Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu serta
bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka dari
belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap
orang atau negara, bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan
yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Dalam relevansinya dengan Pembangunan Nasional Dimensi
Pembangunan Nasional menurut Swasono, (2005: 22) adalah merupakan suatu
prosesdaridemokrasi baik secara politik (political democratization), sosial
maupun ekonomi (economic democratization) untuk mencapai kemajuan
(progress), kebebasan (freedom) serta mengurangi hambatan (elimination of
freedom), di mana proses ini juga merupakan proses dari humanisasi.Di samping
itu menumbuhkan pendapatan nasional (Growth) melalui penciptaan lapangan
kerja untuk mengurangi bahkan menghapus pengangguran dan kemiskinan.
Dengan demikian masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pokoknya / basic
needs (ILO, 1976, dalam World Development Report,1995) serta negara mampu
menjamin hajad hidup orang banyak (Hatta, 1967). Sementara itu menurut
Rostow dalam Arief (1998: 21) pembangunan ekonomi merupakan suatu proses
yang menimbulkan perubahan dalam kehidupan perekonomian, politik dan sosial
36
masyarakat. Adapun proses pembangunan menurut Rostow terdiri dari 5 tahap
yaitu: 1. tahap masyarakat tradisional. 2 tahap prasayarat tinggal landas (precondation
to take of), 3 tahap tinggal landas (take off), 4 Tahap gerakan kearah
kedewasaan (maturity), 5 Tahap konsumsi tinggi (mass consumption).
Selanjutnya Rostow memfokuskan anlisisnya pada tahap tinggal landas. Proses
tinggal landas terjadi pada dua situasi system kemasyarakatan; yaitu pada sistem
masyarakat yang sudah ada dan teratur (settled society) dan pada sistem
kemasyarakatan yang baru saja berdiri (newly settled society)
Menurut Swasono (2005: 23) dasar strategi pembangunan nasional Indonesia
meliputi:
1. Transformasi sosial ekonomi, Pasal 33 dan Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945
3. Meraih nilai-tambah ekonomi, dan sekaligus nilai-tambah sosial-kultural
dan nilai-tambah ketahanan nasional.
4. Dignity, proses mencapai kecerdasan hidup bangsa.
5. Memperkukuh national intergration
6. Pancasilanisasi: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri (bukan lagi ein Nation
von Kuli und Kuli unter den Nationen).
Sejak dideklarasikan pada KTT Perserikatan Bangsa Bangsa, pada tahun
2000, Tujuan Pembangunan Milennium (Milennium Development Goal /MDG)
menjadi acuan bagi pembangunan baik oleh negara maju maupun negara
berkembang. Ada 8 goal / tujuan yang hendak dicapai yaitu (Human Development
Report 2003 : 1-2) :
1. Eradicate extreme overty and hungger
2. Achieve universal primary education.
3. Promote gender equality and empowerment
4. Reduce child mortality
5. Improve maternal health
6. Combat HIV / AIDS, malaria and other disease
7. Ensure invironmental sustainability
8. Develop a global partnership for development.
37
Adapun tujuan Pembangunan Milennium yang diterapkan di Indonesia meliputi
8 tujuan (Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals
Indonesia 2005: 45) yaitu :
1. Menaggulangi Kemiskinan Dan Kelaparan.
Dengan target :
a. Menurunkan proporsi penduduk yang tingkatannya di bawah $ 1
per hari menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015
b. Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi
setengahnya antara tahun 1990-2015
2. Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semuanya.
Dengan target :
Memastikan pada tahun 2015 semua anak di manapun, laki-laki
maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.
Dengan target : Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan
dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak
lebih dari tahun 2015
4. Menurunkan Angka Kematian Anak
Dengan target : Menurunkan angka kematian balita sebesar dua
pertiganya, antara tahun 1990 dan 2015
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu.
Dengan target : Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya
antara tahun 1990-2015.
6 Memerangi HIV / AIDS dan Penyakit Menular Lainnya
Dengan target :
a. Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya
jumlah kasus baru pada 2015
c. Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah
kasus malaria dan penyakit lainnya.
7. Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup
Dengan target :
a. Memadukan prisip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan kebijakan dan program nasional.
b. Penurunan sebesar separuh penduduk tanpa akses terhadap
sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas
sanitasi dasar pada tahun 2015.
c. Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk
miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020
8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan
2.1.2. Teori Kesejahteraa Masyarakat, Kriteria Keluarga Sejahtera dan
Konsep Kemiskinan.
38
2.1.2.1. Teori kesejahteraan masyarakat dan Kriteria keluarga sejahtera
Sen, (2002: 8) mengatakan bahwa welfare economics merupakan suatu
proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh
kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat
kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs
fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human
development). Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability
approach didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or
ability to achieve desirable “functionings” is more importance than actual
outcomes.
Nicholson (1992:177), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan
sosial; yaitu keadaan kesejahteraan sosial maksimum tercapai bila tidak ada
seorangpun yang dirugikan.
Sementara itu Bornstein dalam Swasono, mengajukan “ performance
criteria “ untuk social welfare dengan batasan- batasan yang meliputi ; output,
growth, efficiency, stability, security, inequality, dan freedom, yang harus
dikaitkan dengan suatu social preference.(Swasono 2004, b: 23). Sedangkan
Etzioni, A. (1999: 15) , mengatakan bahwa privacy is a societal licence, yang
artinya privivacy orang-perorangan adalah suatu mandated privacy dari
masyarakat, dalam arti privacy terikat oleh kaidah sosial. Dengan demikian
kedudukan individu adalah sebagai makhluk sosial yang harus ditonjolkan dalam
ilmu ekonomi utamanya dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan menuju
kesejahteraan masyarakat.
39
Menurut BKKBN (Badan koordinasi Keluarga Berencana Nasional,
Kesejahteraan keluarga digolongan kedalam 3 golongan; yaitu :
Keluarga Sejahtera Tahap I dengan kriteria sebagai berikut :
1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama
2. Pada umumnya anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
3. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda dirumah / pergi/bekerja /
sekolah.
4. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
5. Anak sakit ataupun pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber KB dibawa
kesarana kesehatan.
Keluarga Sejahtera Tahap II, meliputi :
1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur
2. Paling kurang sekali seminggu lauk daging / ikan / telur
3. Setahun terakhir anggota keluarga menerima satu stel pakaian baru
4. Luas lantai paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni
5. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan dapat
melaksanakan tugas
6. Ada anggota keluarga umur 15 tahun keatas berpenghasilan tetap.
7. Anggota keluarga umur 10 – 60 th. bisa baca tulis latin
8. Anak umur 7 – 15 th. bersekolah
9. PUS dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi
Keluarga Sejahtera Tahap III, meliputi
1. Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama
2. Sebagian penghasilan keluarga ditabung
3. Keluarga makan bersama paling kurang sekali sehari untuk berkomunikasi
4. Keluarga sering ikut dalam kegiatan mesyarakat dilingkungan tempat
tinggal.
5 Keluarga rekreasi bersama paling kurang sekali dalam enam bulan.
6. Keluarga memperoleh berita dari surat kabar/majalah/TV/radio.
7. Anggota keluarga menggunakan sarana transportasi setempat.
Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, meliputi :
1. Keluarga secara teratur memberikan sumbangan
2. Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus yayasan / institusi
masyarakat
40
2.1.2.2. . Konsep dan definisi kemiskinan
Memerangi kemiskinan merupakan salah satu tujuan dari pembangunan
ekonomi. Secara umum kemiskinan mempunyai arti ketidakmampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan non fisik (Tjiptoherijanto,1997: 76).
Menurut Lewis, A. (dalam Suparlan, 1993: 5), memandang kemiskinan dan cirricirinya
sebagai suatu kebudayaan atau sebagai suatu sub kebudayaan dengan
struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang
diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga.(Suparlan, 1993: 4–5).
Pandangan ini menyatakan bahwa kebudayaan kemiskinan di negara-negara
modern bukan hanya menyangkut masalah kelumpuhan ekonomi, masalah
disorganisasi atau masalah kelangkaan sumber daya, melainkan di dalam
beberapa hal juga bersifat positif karena memberikan jalan ke luar bagi kaum
miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya. Selanjutanya Lewis,
mendefinisikan kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau
penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap
kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat
individualistis, dan berciri kapitalisme.
Kebudayaan Kemiskinan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi
rasa putus asa dan tanpa harapan, yang merupakan perwujudan dari kesadaran
bahwa mustahil dapat meriah sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai
dan tujuan masyarakat yang lebih luas. Sekali kebudayaan tersebut tumbuh, ia
cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melalui pengaruhnya
terhadap anak-anak. Kemiskinan menurut Suparlan (1993: 3), adalah suatu standar
tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada
41
sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang
umum berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah
ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap kesehatan, kehidupan moral
dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Menurut Kadir, (1993: 5) kemiskinan adalah situasi serba kekurangan
yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin melainkan karena tidak
bisa dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Hal ini disebabkan
terbatasnya modal yang mereka miliki dan rendahnya pendapatan mereka.
Sehingga akan mengakibatkan terbatasnya kesempatan mereka untuk
berpartisipasi dalam pembangunan.
Menurut Mubyarto, (1990: 159) , golongan miskin adalah golongan
yang rawan pangan yang berpengaruh negatif terhadap produktifitas kerja
dan angka kematian balita. Menurut Salim (1984: 61), mendifinisikan
golongan miskin adalah mereka yang berpendapatan rendah karena
rendahnya produktifitas, di mana rendahnya tingkat produktifitas disebabkan
oleh :
1. tidak memiliki asset produksi
2. lemah jasmani dan rohani.
Simanjuntak, .(1993), berpendapat bahwa kemiskinan menyebabkan seseorang
tidak dapat memenuhi kebutuhan primer seperti makan, pakaian, perumahan,
kesehatan, perumahan, kesehatan dengan memadai.
Menurut World Health Organization, (world Bank,1995), kemiskinan
ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang, di mana pendapatan tersebut dapat
memenuhi kebutuhan mendasar bagi kehidupannya. Kemiskinan juga dapat
42
dikatakan timbul karena pendapatan yang rendah, namun demikian ada negara
yang pendapatan per kapitanya cukup tinggi akan tetapi tingkat kemiskinannya
juga tinggi. Hal ini dimungkinkan karena distribusi pendapatanya kurang merata.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita
suatu masyarakat, semakin kecil proporsi penduduk yang berpendapatan di bawah
garis kemiskinan. Namun perlu diingat bahwa di samping tergantung pada
pendapatan perkapita, besarnya persentase penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan tergantung juga pada distribusi pendapatan. Semakin tidak merata
distribusi pendapatan semakin besar pula penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan atau semakin tinggi persentase penduduk yang miskin.
Distribusi pendapatan Indonesia tergolong kurang baik. Hal ini disebabkan
distribusi pemilikan modal per provinsi yang kurang atau bahkan tidak merata.
Sebagian terbesar dana yang tersedia terkonsentrasi di Jawa; yaitu 64% dikuasai
DKI, 8% dikuasai Jawa Timur (6% di antaranya berada di Surabaya dan 2%
tersebar di 36 daerah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur), 6% berada di Jawa –
Barat 5,5% berada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
selebihnya (16,5%) tersebar di seluruh provensi di luar Jawa, (Zadjuli, 1993: 6).
2.1.3. Ciri-ciri dan Ukuran Kemiskinan
2.1.3.1. Ciri-ciri kemiskinan
Ciri – ciri kemiskinan pada umumnya dipaparkan sebagai berikut :
a. Salim (1984: 63.) memberikan ciri – ciri kemiskinan sebagai berikut :
1. mereka yang tidak mempunyai faktor produksi sendiri (seperti tanah,
modal dan keterampilan)
2. tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki asset produksi dengan
kekuatan sendiri.
43
3. rata-rata pendidikan mereka rendah.
4. sebagian besar mereka tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai
buruh tani. yang tinggal di kota kebanyakan mereka yang berusia
muda dan tidak memiliki keterampilan dan pendidikannya rendah.
b. Menurut Juoro, (1985: 8), golongan miskin yang tinggal di kota ialah
mereka yang hidup di suatu perekonomian yang biasa disebut slum.
Mereka bukanlah gelandangan karena mempunyai pekerjaan, tempat tinggal,
aturan hidup bermasyarakat dan memiliki aspirasi.
c. Menurut Tumanggor dalam Ismail (1999: 3), cirri-ciri masyarakat yang
berpengahasilan rendah / miskin adalah :
1. pekerjaan yang menjadi mata pencarian mereka umumnya merupakan
pekerjaan yang menggunakan tenaga kasar.
2. nilai pendapatan mereka lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah
jam kerja yang mereka gunakan
3. nilai pendapatan yang mereka terima umumnya habis untuk membeli
kebutuhan pokok sehari-hari.
4. karena kemampuan dana yang sangat kurang, maka untuk rekreasi,
pengobatan, biaya perumahan, penambahan jumlah pakaian semuanya
itu hampir tidak dapat dipenuhi sama sekali.
Selain ciri-ciri kemiskinan seperti tersebut di atas, kemiskinan sering juga
digolongkan dalam beberapa macam kemiskinan. Di antaranya adalah ke dalam
dua macam kemiskinan yaitu; kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan membandingkan
tingkat pendapatan orang perseorangan atau keluarga dengan tingkat pendapatan
yang dibutuhkan untuk memperoleh Kebutuhan Dasar Minimum (KDM).Di
sini tingkat pendapatan minimum akan merupakan pembatas antara keadaan
miskin dan tidak miskin atau disebut sebagai Garis Kemiskinan. Perkiraan Garis
Kemiskinan dengan menggunakan konsep KDM ini merupakan suatu yang statis
sifatnya. Perkembangan Garis Kemiskinan biasanya disesuaikan menurut indeks
kemiskinan, di mana tingkat kehidupan penduduk miskin sama sekali tidak
44
mengalami perubahan, sementara itu golongan penduduk yang lain tingkat
kehidupannya telah meningkat. Kesulitan utama dalam konsep Kemiskinan
Absolut adalah menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena
kedua hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh adat kebiasaan saja melainkan
juga oleh iklim, tingkat kemajuan suatu negara, dan berbagai faktor lainnya.
Konsep kemiskinan relatif didasari kenyataan bahwa orang yang sudah
mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum
tidak selalu berarti “ tidak miskin “. Sekalipun pendapatan telah mencapai
tingkat kebutuhan minimun, namun apabila pendapatan orang tersebut masih jauh
lebih rendah daripada masyarakat di sekitarnya, maka orang tersebut masih dalam
keadaan miskin.
Sementara itu menurut Azhari (1992: 32), menggolongkan kemiskinan
kedalam tiga macam kemiskinan yaitu :
1. Kemiskinan alamiah
Kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber daya yang langka
jumlahnya, atau karena perkembangan tingkat tehnologi yang sangat
rendah. Termasuk didalamnya adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk
yang melaju dengan pesat di tengah- tengah sumber daya alam yang tetap.
2. Kemiskinan struktural
Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial sedemikian rupa, sehingga masyarakat itu tidak dapat menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Kemiskinan struktural ini terjadi karena kelembagaan yang ada membuat
anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan
fasilitas- fasilitas secara merata. Dengan perkataan lain kemiskinan ini
tidak ada hubungannya dengan kelangkaan sumber daya alam.
3. Kemiskinan kultural
Kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi / adat yang membebani
ekonomi masyarakat, seperti upacara perkawinan, kematian atau pesta
pesta adat lainnya.termasuk juga dalam hal ini sikap mentalitas penduduk
yang lamban, malas, konsumtif serta kurang berorentasi kemasa depan.
45
2.1.3.2. Ukuran Kemiskinan
Untuk mengukur kemiskinan ada beberapa konsep atau ukuran, diantaranya
adalah :
a. Menurut Azizy, A.Qodri dalam Zadjuli (2007), ukuran garis kemiskinan
ataupun garis kemakmuran menurut Islam dapat dianalisis melalui:
1. penerimaan sebagai berikut:
Y r = C r + S + T + (X – M) + Z r .
di mana: Y r = jumlah penerimaan/pendapatan
C r = pendapatan sektor keluarga
S = saving
T = tax
X = expor
M = impor
Z r = zakat, infaq dan shodaqoh
3. pengeluaran sebagai berikut:
Y e = C e + I + Ge + (X – M) + Ze
di mana: Y e = jumlah pengeluaran
C e = pengeluaran sektor keluarga
I = investasi swasta
G e = pengeluaran pemerintah
M = impor
Z e = pengeluaran zakat, infaq dan shodaqoh.
Untuk menentukan garis kemiskinan/garis kemakmuran dapat digambarkan
secara grafis pada Gambar 2.1. sebagai berikut:
Sumber : Zadjuli, Reformasi Ilmu Pengetahuan dan Perspektif Ekonomi Islam
Di Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Airlangga,
Gambar 2.1: GARIS KEMISKINAN DAN KEMAKMURAN
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
30
25
20
15
10
Ci d cp 1991
Ci f cp 2004
Co d cp 1991
Co f cp 2004
NS
NS
G Kma Yc1 = Co +
G Kma Yc1= Co +
G Kml
G Kml
Y (juta Rp)
Tahun
46
MENURUT ISLAM
Keterangan: Y = Gross National Product
C0 = Autonomous National Consumption
Ci = Induced National Consumption
NS = 1 Nishaf = 94 gram emas murni
G Kma = Garis kemakmuran
G Kmi = Garis Kemiskinan
b. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS).
Kemiskinan diukur dengan menggunakan dasar kebutuhan fisik minimal
(physical quality of life index).
c. Menurut Bank Dunia
Suatu masyarakat dikategorikan miskin apabila pendapatan per kapitanya
setara dengan 1/3 dari pendapatan nasional per kapita.
d. Menurut BAPPENAS Tahun 1990, kemiskinan diukur dengan menggunanakan
ukuran dasar barang setara dengan 30 Kg beras per kapita per bulan
untuk masyarakat perkotaan (Zadjuli, 1993: 9).
e. Ukuran kemiskinan juga sering dihubungkan dengan Kebutuhan layak
Hidup (KHL) per kapita atau Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) per
kapita Masyarakat. (BPS: 2001)
2.1.4. Kualitas Hidup ( quality of life )
Menurut United Nation Devevelopment Programme (UNDP) tahun 1990,
pembangunan manusia baik di tingkat global , tingkat nasional maupun daerah
ditekankan pada pembangunan yang berpusat pada manusia yang menempatkan
manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan dan bukan sebagai alat
pembangunan. Berbeda dengan konsep pembangunan yang mengutamakan
pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi pada
47
akhirnya akan menguntungkan manusia, Di sini pembangunan manusia
memperkenalkan konsep yang lebih luas dan lebih komprehensif yang mencakup
semua pilihan yang dimiliki oleh manusia di semua golongan masyarakat
pada semua tahap pembangunan.Konsep pembangunan manusia adalah (Laporan
Pembangunan Manusia , BPS 2001 ):
“ Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya.
Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan
yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur
panjang, sehat dan menjalankan kehidupan yang produktif ”
Konsep pembangunan manusia ini kelihatannya sederhana akan tetapi seringkali
terlupakan oleh berbagai kesibukan jangka pendek untuk mengumpulkan harta
dan uang, bahkan seringkali manusia tidak lagi dianggap sebagai asset yang perlu
diberdayakan melainkan dianggap sebagai beban pembangunan (Swasono, 2001).
Pada hakekatnya pembangunan manusia dan hak asasi manusia mempunyai
kesamaan visi dan tujuan, (Human Development Report 2000: 1) yaitu untuk :
1. Kebebasan dari diskriminasi berdasarkan jender, ras, etnis, asal
negara atau agama
2. Kebebasan dari kekurangan untuk dapat menikmati kehidupan yang
layak.
3. Kebebasan untuk berkembang dan mengembangkan potensinya.
4. Kebebasan dari rasa takut dari ancaman terhadap keselamatan diri
penyiksaan, penangkapan yang sewenang – wenang dan tindakan
kekerasan lainnya.
5 . Kebebasan dari ketidakadilan dan penyimpangan hukum.
6. Kebebasan untuk berfikir, berbicara dan berprestasi dalam
pembuatan keputusan serta berserikat.
7. Kebebasan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa
ekploitasi.
Paradigma Pembangunan manusia mempunyai empat komponen (Human
Develop ment Report 2000: 12) yaitu :
a. Produktifitas
Manusia harus berkemampuan untuk meningkatkan produktifitasnya
dan berpartisipasi penuh dalam proses mencari penghasilan dan
48
lapangan kerja. Oleh karenanya, pertumbuhan ekonomi merupakan
bagian dari model pembangunan manusia.
b. Pemerataan.
Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama.Semua hambatan
terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapuskan sehingga
semua orang dapat berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan dari
keuntungan dari peluang yang tersedia.
c. Keberlanjutan.
Akses terhadap peluang /kesempatan harus tersedia bukan hanya untuk
generasi sekarang tapi juga untuk generasi yang akan datang. Semua
bentuk sumber daya: fisik, manusia, alam harus dapat diperbaharui.
d. Pemberdayaan.
Pembangunan harus dilakukan oleh semua orang, bukannya sematamata
(dilakukan) untuk semua orang. Semua orang harus berpartisi -
pasi penuh dalam Pengambilan keputusan dan proses yang mempe -
ngaruhi kehidupan mereka.
Pembangunan manusia lebih jauh diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia, serta kemandirian (self-empowerment) secara
berkelanjutan.
2.1.5. Teori Ketenagakerjaan
Masalah yang sering timbul dalam ketenagakerjaan adalah terjadinya
ketidakseimbangan antara penawaran tenaga kerja (supply of labor) dan
permintaan akan tenaga kerja (demand for labor) pada tingkat upah tertentu.
Ketidakseimbangan ini dapat berupa exess supply of labor, yaitu apabila
penawaran lebih besar daripada permintaan akan tenaga kerja, atau terjadi exess
demand for labor, yaitu apabila terjadi permintaan akan tenaga kerja lebih besar
daripada penawaran akan tenaga kerja.
Lewis, A dalam Todaro (1985: 66) mengemukakan teorinya mengenai
ketenagakerjaan, yaitu; kelebihan pekerja merupakan kesempatan dan bukan
masalah. Kelebihan pekerja satu sektor akan memberikan andil terhadap
pertumbuhan output dan penyediaan pekerja di sektor lain. Selanjutnya Lewis
49
mengemukakan bahwa ada dua sektor di dalam perekonomian negara sedang
berkembang, yaitu sektor modern dan sektor tradisional.. Sektor tradisional tidak
hanya berupa sektor pertanian di pedesaan, melainkan juga termasuk sektor
informal di perkotaan (pedagang kaki lima, pengecer, pedagang angkringan).
Sektor informal mampu menyerap kelebihan tenaga kerja yang ada selama
berlangsungnya proses industrialisasi, sehingga disebut katub pengaman
ketenagakerjaan.. Dengan terserapnya kelebihan tenaga kerja disektor industri
(sektor modern) oleh sektor informal, maka pada suatu saat tingkat upah di
pedesaan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan mengurangi perbedaan
tingkat pendapatan antara pedesaan dan perkotaan, sehingga kelebihan penawaran
pekerja tidak menimbulkan masalah pada pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya
kelebihan pekerja justru merupakan modal untuk mengakumulasi pendapatan,
dengan asumsi perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern
berjalan lancar dan perpindahan tersebut tidak pernah menjadi terlalu
banyak.(Todaro, 2004: 132)
2.1.5.1. Tingkat Upah.
Sebagaimana halnya dengan harga barang-barang dan jasa-jasa, harga tenaga
kerja atau yang lebih dikenal dengan upah , tinggi rendahnya ditentukan oleh
permintaan pasar dan penawaran pasar akan tenaga kerja. Dipandang dari sumber
daya manusia secara keseluruhan , tingkat upah atau wage rate ditentukan oleh
kurva permintaan akan tenaga kerja agregatif dan kurva penawaran akan tenaga
kerja agregatif. Di mana kurva permintaan akan tenaga kerja agregatif adalah
50
kurva yang menggambarkan jumlah-jumlah tenaga kerja per satuan waktu yang
diminta oleh masyarakat pada berbagai kemungkinan tingkat upah nyata.
Tingkat upah nyata atau upah riil (real wage rate) adalah tingkat upah yang
dinyatakan dengan tingkat harga konstan, sedangkan tingkat upah nominal adalah
tingkat upah berdasarkan harga pasar pada saat upah diterima.
Hubungan antara tingkat upah riil dengan tingkat upah nominal menurut BPS
dapat dinyatakan secara matematis sebagai berikut :
W =
H
w
Di mana :
W = tingkat upah nyata
w = tingkat upah nominal
H = tingkat harga
Dalam menghitung upah minimum dan upah layak minimum menurut
Zadjuli (2005: 14), perlu diperhatikan beberapa dasar perhitungan sebagai berikut:
a. Proporsi pengeluaran ideal mengikuti Kebutuhan Hidup Minimum
(KHM) sesuai dengan konsep ILO (International Labor
Organization)
b. Pengeluaran untuk mengembalikan energi yang dipakai harus
diganti
c. Upah murni adalah (1: 0,6254) = 1,5989766 kali pengeluaran
untuk makan dan minum per kapita rata-rata, tidak termasuk
pengeluaran untuk keperluan rokok dan tembakau.
51
d. Upah minimum adalah sama dengan nilai penggantian energi
pekerja yang dipakai untuk bekerja ditambah dengan upah murni
pekerja itu sendiri.
e. Upah layak minimum adalah sebagai berikut (Zadjuli, 2005: 15-
17) :
i. Pekerja lajang Upah Layak Minimum = Upah Minimum
ii. Pekerja nikah tanpa anak = 2 x Upah Minimum
iii. Pekerja nikah dengan anak :
iv. Satu = 3 x Upah Minimum
v. Dua = 4 x Upah Minimum
vi. Tiga atau lebih = 5 x Upah Minimum
Untuk Jawa Timur, Upah Layak Minimum tahun 2005 seharusnya
adalah :
a. Pekerja Lajang = Rp 425.541,-
b. Pekerja nikah tanpa anak = 2 x Rp 425.541,- = Rp 851.082
c. Pekerja nikah dengan satu anak = 3 x Rp425.541,- = Rp 1.276.622,-
d. Pekerja nikah dengan dua anak = 4 x Rp 425.541,- = Rp 1.702.163,-
e. Pekerja nikah dengan tiga anak = 5 x Rp 425.541,- = Rp 2.127.704,-
2.1.6. Teori Migrasi
Migrasi merupakan salah satu faktor dasar di samping faktor
Kelahiran dan Kematian yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Di negaranegara
yang sedang berkembang migrasi secara regional sangat penting untuk
dikaji secara khusus, mengingat meningkatnya kepadatan penduduk yang pesat di
daerah-daerah tertentu sebagai distribusi penduduk yang tidak merata.
Definisi migrasi dalam arti luas menurut .Lee, S.Everett. (1991: 7); migrasi
adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen.Tidak ada
pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan
itu bersifat suka rela atau terpaksa; serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi
dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. Jadi pindah tempat dari satu temapt
tinggal ke tempat tinggal lain hanya dengan melintasi lantai antara kedua ruangan
52
itu dipandang sebagai migrasi, sama seperti perpindahan dari Bombay di India ke
Cedar Rapids di IOWA meskipun tentunya sebab-sebab dan akibat-akibat
perpindahan itu sangat berbeda Tidak semua macam perpindahan dari satu tempat
ketempat lain dapat digolongkan kedalam definisi ini; yang tidak dapat
digolongkan misalnya pengembaraan orang nomad dan pekerja-pekerja musiman
yang tidak lama berdiam di suatu tempat, atau perpindahan sementara.
2.1.6.1. Push and Pull Factor Theory (Lee,S.Everett)
Menurut Lee,S.Everett (1991: 9), faktor-faktor yang mendorong terjadinya
migrasi ada 4 Faktor migrasi ; yaitu :
a. faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
b. faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan
c. penghalang antara dan
d. faktor-faktor pribadi.
Menurut Lee, dalam setiap daerah banyak sekali faktor yang mempengaruhi
orang untuk tinggal atau menetap di situ atau menarik orang untuk pindah ke situ,
atau ada faktor-faktor lain yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah
itu.Faktor-faktor tersebut digambarkan dalam diagram berbentuk tanda + dan - ,
sedangkan faktor-faktor yang pada dasarnya tidak berpengaruh sama sekali
terhadap penduduknya digambarkan dengan tanda 0. Beberapa faktor itu
mempunyai pengaruh yang sama terhadap beberapa orang, sedangkan ada faktor
berpengaruh yang berbeda terhadap seseorang. Sebagai suatu contoh hampir
semua orang senang dan tertarik untuk bertempat tinggal di daerah yang nyaman
udaranya, ada juga orang yang tidak memilih tempat yang mempunyai fasilitas
53
pendidikan dan kesehatan yang bagus namun biaya hidup mahal, sebagian orang
yang kaya akan memilih tinggal di situ. Sementara bagi orang yang hidup sendiri
mungkin tidak terpengaruh untuk tinggal di tempat itu, karena tidak ada anak
yang harus disekolahkan.
Dari keempat faktor pendorong terjadinya migrasi , tiga faktor pertama
secara skematis dapat digambarkan sebagai Gambar 2.2 sebagai berikut (Lee,
S.Everett, 1991: 8-9):
Penghalang antara
Tempat / Daerah Tempat/Daerah
Tujuan
Keterangan : + Faktor penarik
- Faktor pendorong
0 Faktor yang netral
Sumber : Lee, S. Everett, 1991, Teori Migrasi, terjemahan oleh Hans Daeng,
Hlm.9.
Gambar 2.2. : FAKTOR TEMPAT /DAERAH ASAL DAN TEMPAT /
DAERAH TUJUAN SERTA PENGHALANG-ANTARA
DALAM MIGRASI
2.1.6.2. Expected Income Theory (Todaro)
Berangkat dari asumsi bahwa migrasi terutamanya merupakan fenomena
ekonomi, Todaro (1985: 71) merumuskan bahwa migrasi berkembang
dikarenakan terjadinya perbedaan antara pendapatan yang diharapkan dengan
pendapatan yang diperoleh di pedesaan dan perkotaan.
+
o - o
-
o + o -
o - + o
+ - o -
+ -
o - o +
+
o - o
o + -
+ - +
- + o
o -
+ o
+ o -
54
Sekalipun dasar keputusan untuk migrasi tidak selalu rasional, namun Todaro
mengasumsikan bahwa keputusan migrasi adalah fenomena ekonomi yang
rasional. Model migrasi menurut Todaro ini dikenal dengan Expected income of
rural- urban migration.
Menurut Todaro (1985: 75) karakteristik dasar dalam migrasi adalah sebagai
berikut :
1. dorongan utama migrasi adalah pertimbangan ekonomi yang rasional
terhadap segala keuntungan dan kerugian.
2. keputusan migrasi lebih bergantung kepada harapan daripada perbedaan
upah riil sesungguhnya yang terdapat di desa dan kota.
3. kemungkinan seseorang mendapatkan pekerjaan di kota, berbanding
terbalik dengan tingkat pengangguran yang terdapat di kota itu.
4. tingkat migrasi melebihi tingkat pertumbuhan lapangan kerja di kota
adalah suatu hal yang logis.
Teori Todaro yang hanya berlaku untuk migrasi internal yaitu migrasi dari desa ke
kota ini secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
E(Wu) = Wu.(Eu/Lu)
Di mana : E(Wu) = harapan pendapatan (income) di kota
Wu = tingginya upah di kota
Eu = jumlah pekerjaan di kota
Lu = jumlah angkatan kerja
Menurut Sensus Penduduk tahun 1971, ternyata tidak satupun dari dua
puluh tujuh provinsi di Indonesia yang tidak mengalami perpindahan penduduk,
baik perpindahan masuk maupun perpindahan keluar.Perpindahan penduduk
seringkali diartikan sebagai migrasi, namun migrasi sendiri mempunyai artian
secara khusus. Menurut Munir, (2004: 55), Migrasi didefinisikan sebagai
perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke
tempat lain melampaui batas politik / negara ataupun batas administratif / batas
bagian dari suatu negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang
relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain.
55
Dari definisi ini mengandung dua demensi yaitu demensi Waktu dan
demensi Daerah. Untuk demensi waktu, ukuran yang pasti tidak ada karena
sulitnya menentukan berapa lama seseorang pindah tempat tinggal untuk dapat
dianggap sebagai seorang migran. Namun demikian dalam praktik ukuran yang
dipakai adalah definisi yang ditentukan dalam Sensus Penduduk. Sebagai contoh
dalam Sensus Penduduk Th.1961, batasan waktu bagi penentuan migran adalah 3
bulan, sementara itu dalam Sensus Penduduk Th.1971 dan 1980 batasan waktu
yang digunakan adalah 6 bulan.
Untuk demensi daerah, secara garis besarnya dibedakan dalam kategori; yaitu
Migrasi Internasional dan Migrasi Intern. Migrasi Internasional adalah
perpindahan penduduk dari suatu negara ke nagara lain, sedangkan Migrasi Intern
adalah perpindahan penduduk yang terjadi dalam satu negara, misalnya
perpindahan antar provinsi, antar kota, atau antar kesatuan administrasi.
Menurut batasan Sensus Penduduk 1961 dan 1980 Batasan Unit Wilayah bagi
migrasi di Indonesia adalah provinsi.
Sesuai dengan batasan Sensus Penduduk 1961 dan 1980 ada beberapa
jenis migras yaitu :
1. Migrasi Masuk (In Migration)
2. Migrasi Keluar (out Migration)
3. Migrasi Neto (Net Migration)
4. Migrasi Bruto (Gross Migration)
5. Migrasi Total (Total Migration)
6. Migrasi Semasa Hidup (Life Time Migration)
7. Migrasi Parsial (Partial Migration)
8. Arus Migrasi (Migration Stream)
9. Urbanisasi (Urbanization)
10. Transmigrasi (Transmigration)
56
2.1.6.3. Urbanisasi
Kata “ Urbanisasi _ atau “ urbanization _ didefinisikan oleh Munir ( 2004:
1) sebagai bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang
disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan atau akibat dari
perluasan daerah kota. Urbanisasi dapat terjadi melalui dua cara yaitu;
perpindahan penduduk dari desa ke kota (rural urban migration) dan kedua
karena berubahnya daerah pedesaan yang karena beberapa faktor lambat laun
menjadi daerah perkotaan (Sinulingga, 1999: 70). Pada umumnya di negaranegara
maju tingkat urbanisasi sangat tinggi dibanding di negara- negara
berkembang. Di negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat urbanisasi
mencapai hampir 80%, sedangkan di negara-negara berkembang urbanisasi
masih di bawah 40%. Di Indonesia urbanisasi baru mencapai 30,9% di
tahun 1990, sedangkan keseluruhan dunia mencapai 40% di tahun yang sama
(Sinulingga, 1999: 81).
2.1.6.4. Proses Urbanisasi
Proses urbanisasi di negara-negara maju dapat dikategorikan ke dalam 3 fase
yaitu : Fase pertama dimulai dari revolusi industri yang dipelopori oleh Inggris
pada abad 18. Pada era tersebut jumlah penduduk di kota dimulai kurang dari 20%
dari penduduk seluruhnya, dan berkembang menuju titik jenuh yaitu 80%. Selama
proses industrialisasi penduduk cenderung untuk tinggal di kota, sekalipun
demikian penduduk pedesaan tidak berkurang. Hal ini disebabkan oleh karena
pertumbuhan alamiah penduduk sangat tinggi. Rata-rata keluarga berukuran besar
57
dan struktur umur berbentuk piramida di mana penduduk usia muda jumlahnya
lebih banyak daripada penduduk berusia dewasa.
Pada fase ketiga, yaitu “post industry_ pada fase ini urbanisasi sudah menjadi
hal yang umum, pertumbuhan penduduk secara nasional adalah menimal, umur
rata-rata penduduk bertambah dan ukuran keluarga berkurang. Pada tahap ini
penduduk cenderung berpindah ke daerah pinggiran kota . Kota-kota besar mulai
kehilangan penduduknya karena berpindah ke pinggiran kota bersama
berpindahmya industri. De-urbanisasi ini kemudian menjadi masalah, dan negaranegara
maju berusaha untuk menguranginya agar investasi yang telah dibuat di
kota kota dapat dimanfaatkan dengan effisien.
Urbanisasi di negara-negara di Asia, utamanya di negara-negara bekas jajahan
(termasuk Indonesia) mempunyai konteks yang berbeda dengan negara maju.
Pertumbuhan penduduk kota tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonominya,
melainkan disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pada
umumnya perpindahan penduduk dari desa ke kota dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu; faktor pendorong, faktor penarik dan faktor penghambat atau penghalang
(Lee, S.Everett1991: 9).
Faktor pendorong utama adalah kondisi daerah asal (pedesaan), di antaranya
adalah tekanan ekonomi, jumlah keluarga yang banyak, lapangan usaha dan
pekerjaan terbatas serta fasilitas hidup terbatas. Faktor penarik merupakan faktor
yang berasal dari kota yang meliputi : tersedianya berbagai fasilitas hidup yang
lebih baik, terbukanya lapangan usaha dan pekerjaan, tingkat upah dan gaji yang
relatif lebih daripada penghasilan di desa. Semua faktor-faktor ini menyebabkan
tingkat sosial ekonomi masyarakat perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan
58
masyarakat pedesaan dan hal ini menjadi daya tarik masyarakat desa untuk pindah
dari desa ke kota.
Faktor ketiga adalah faktor penghalang bagi para pendatang yang antara lain
meliputi : jarak antara kota dan desa cukup jauh serta kurang tersedianya alat
transportasi dan komunikasi di desa sehingga kota sulit terjangkau serta
pertimbangan-pertimbangan lain seperti ketidak pastian untuk meraih kehidupan
yang lebih baik di kota menjadi pertimbangan bagi penduduk desa untuk pindah
ke kota.Faktor pendorong serta faktor penarik secara bersama sama akan
menimbulkan arus migrasi (perpindahan) penduduk dari desa ke kota yang
menjadi tinggi bahkan melebihi pertumbuhan daya serap kota dalam menampung
jumlah pendatang baru. Kondisi seperti ini disebut “over urbanization_ atau
urbanisasi berlebih, di mana kondisi seperti ini dapat menimbulkan berbagai
dampak.
2.1.6.5. Dampak Urbanisasi Berlebih
Menurut Graeme, (1987: 11), urbanisasi berlebih di Indonesia menimbulkan
dampak baik dampak positif maupun negatif. Dampak positif adalah dampak yang
dialami oleh daerah yang ditinggalkan (daerah pedesaan) di antaranya adalah
meningkatnya pendapatan, kesehatan, kesejahteraan , perubahan sosial serta
meningkatnya peran secara tradisional (khususnya wanita). Sedangkan dampak
negatifnya untuk daerah perkotaan di antaranya adalah meningkatnya
pengangguran dan setengah pengangguran. Pertambahan kesempatan kerja yang
terbuka di kota tidak dapat mengimbangi tenaga kerja pendatang dari
desa.Penduduk pendatang dari desa dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok; yaitu kelompok yang berpendidikan serta memiliki keterampilan atau
59
keahlian dan yang tidak berpendidikan serta tidak memiliki keterampilan dan
keahlian.Kelompok yang berpendidikan berharap untuk mendapatkan pekerjaan
yang sesuai dengan pendidikan serta keahliannya di kota, sementara yang tidak
berpendidikan bersedia untuk mendapatkan pekerjaan apa saja asalkan dapat
memberikan penghasilan. Kesenjangan antara jumlah pencari kerja dengan
kesempatan kerja yang terbuka di kota-kota menimbulkan masalah yang serius
yaitu bertambahnya jumlah pengangguran dan setengah menganggur. Kondisi
yang demikian ini menciptakan dampak yaitu: 1. tingkat kesejahteraan menurun
(ditandai dengan tidak sebandingnya pendapatan riil dengan pengeluaran riil); 2.
meningkatnya persaingan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan; 3.munculnya
daerah kumuh (tak layak huni); 4. meningkatnya kriminalitas; 5. banyaknya tuna
wisma dan tuna karya; 6. meningkatnya tingkat kebisingan dan lain-lain yang
menyebabkan kota menjadi kurang nyaman .
Di Indonesia , tingginya tingkat urbanisasi (36,46% di tahun 2000) serta
minimnya fasilitas kehidupan (pendidikan, kesehatan, sanitasi, energi, dan
lapangan pekerjaan), menimbulkan perkampungan kumuh (tidak layak huni)
berpenduduk padat dan miskin di kota-kota.
2.1.7.Konsep Perkotaan danTeori Penggunaan (Tata Ruang Kota) Tanah
2.1.7.1. Pengertian Kota
Istilah kota berasal dari sejarah perkotaan di Eropa kuno. Pada zaman Yunani
Kuno kota- kota yang pada saat itu dianggap sebagai republik kecil, letaknya
terpencar-pencar di wilayah pegunungan yang dinamakan “ polis _ . Kota-kota
pada waktu itu berupa benteng pasukan pendudukan Romawi di negeri-negeri
60
Eropa yang disebut “urbis_ dan lahan di luar kota di atas parit-parit yang
mengelilingi benteng disebut “suburbis_
Dari istilah-istilah ini kemudian muncul istilah “Urban_ dan “suburban_ ,
sedangkan pedesaan di luar kota penduduknya adalah petani disebut Ru_ dan
dari sinilah timbul istilah rural_. Sementara itu suatu benteng dinamakan Kota
apabila menjadi pusat perdagangan dan pertukangan yang memungkin
berfungsinya pasar dalam kota (Daldjoeni, 2003: 13) .
Menurut Sullifan, A. (2003: 16) daerah urban (urban area) adalah suatu
daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi daripada daerah
lain .Daerah urban dicirikan dengan kegiatan permukiman yang dominan di sektor
non-agraris dan menjadi pusat kegiatan perekonomian (yaitu produksi, distribusi
dan konsumsi) baik untuk daerah itu sendiri maupun untuk daerah sekitarnya
(hinterland). Kepadatan penduduk merupakan ciri yang lain dari kota.
Di Indonesia, jumlah penduduk merupakan ukuran besar kecilnya kota yang
termasuk kota kecil adalah kota yang berpenduduk antara 5.000 sampai dengan
50.000 orang, kota sedang yaitu kota yang berpenduduk antara 50.000 sampai
dengan 500.000 orang Sedangkan kota besar adalah kota yang berpenduduk
500.000 ke atas (Reksohadiprodjo, 2001: 6). Kota yang memliki penduduk 1ebih
dari satu juta disebut kota Metropolitan; yaitu suatu wilayah yang memiliki ciri
sebagai suatu pusat perdagangan, industri, budaya dan pemerintahan yang
dikelilingi oleh daerah semi urban (suburban) , kawasan perumahan atau kota
kota kecil yang digunakan sebagai tempat tinggal
61
2.1.7.2. Asal Usul Kota
Daerah disebut urban atau kota apabila ada sarana dan prasarana yang
beragam lengkap dan bermutu ( Ward, B. 1976: 29-38). Ada beberapa kondisi
yang diperlukan bagi suatu daerah untuk dapat berkembang menjadi daerah
perkotaan yaitu ; 1 adanya produksi yang lebih di sektor pertanian yang dapat
mencukupi kebutuhan penduduk se tempat pada tingkat yang tetap, 2 adanya “
economies of scale _ dalam produksi di mana firm-firm dapat menghasilkan
barang dengan lebih efisien bila barang tersebut diproduksi oleh individu. Firm
dikatakan mempunyai tingkat produksi dengan “ economies of scale _ jika
terjadi perubahan yang sebanding di semua input dapat menyebabkan perubahan
output yang lebih besar.
Keberadaan firm-firm akan menimbulkan suatu komunitas penduduk di
sekitarnya, karena para pekerja akan tinggal di sekitar firm-firm, sehingga akan
menghemat biaya transportasi dari rumah ke tempat kerja. Kondisi seperti ini akan
merubah kepadatan penduduk di daerah sekitar firm menjadi lebih padat daripada
di daerah lain, (Mill, E.1989: 31).
Kondisi selanjutnya adalah adanya surplus produksi di sektor pertanian yang
kemudian diperdagangkan untuk mendapatkan barang dan jasa yang diproduksi di
kota. Hal ini terjadi karena adanya “ comparative advantage _ ( keuntungan
komparatif ) yaitu ; apabila dua daerah yang masing-masing mempunyai
kemampuan relatif lebih besar untuk memproduksi barang yang berbeda. Adapun
prinsip “ comparative advantage _ dapat dideskripsikan melalui Gambar 2.3.
pada halaman 62.
62
Garis ab pada Gambar A dan B masing masing menggambarkan “ product
possibility curve _ (kurva kemungkinan produksi) untuk daerah 1 dan 2.
Sedangkan agregat dari PPC digambarkan dalam Gambar C. Dari gambar ini
dapat dilihat bahwa daerah 1 lebih efisien dalam memproduksi khusus barang X1
dan daerah 2 memproduksi khusus barang X2. Dan apabila unsur transportasi
dimasukan maka perdagangan akan terjadi bila keuntungan dari perdagangan
tersebut dapat menutupi biaya transportasi. (Mill and Hamilton 1989: 33).
A B C
X1 X1 X1
Daerah (1) Daerah (2) Daerah (1) dan
(2)
3,5 a
3 a
a
0,5
b
b X2 b X2 X 2
0 2 0 1 0 3
Sumber : Mills, E. and Hamilton,Bruce W., Urban Economics,
Scot Foresman and Company, 1989
Gambar 2.3. ILUSTRASI COMPARATIVE ADVANTAGE
Unsur biaya dalam perdagangan menandakan bahwa perdagangan di antara
dua derah akan menyebabkan perkembangan kota bila ada “ economies of scale_
karena apabila tidak, maka perdagangan inter-regional hanya terjadi di mana
individu di daerah yang berbeda tanpa melibatkan campur tangan kota. Adanya
economies of scale dalam tranportasi menjadikan biaya pengiriman meningkat
dengan tingkat yang makin menurun sebanding dengan kenaikan volume barang
63
yang dikirim.Skala yang besar ini akan menyebabkan berkembangnya firm-firm
yang bergerak dalam bidang perdagangan dengan kegiatan mengumpulkan,
mengangkut dan mendistribusikan barang-barang. Selanjutnya “trading firm_ ini
akan mendirikan pasar yang tepat untuk melakukan pengumpulan dan distribusi
barang-barang.
Keputusan penempatan lokasi dari para pedagang menyebabkan
perkembangan kota- kota yang berfungsi sebagai pasar (market cities). Para
pekerja yang bekerja pada trading firm ini akan bertempat tinggal di sekitar firm
berada . Dengan demikian kombinasi antara comparative advantage_ dan “
economies of scale _ dalam transportasi menyebabkan perkembangan kota yang
berfungsi sebagai pasar. Pertumbuhan kota yang disebabkan oleh kombinasi ini
akan makin berkembang dengan bertambahnya jumlah pabrik sehingga
menciptakan kota-kota industri. Kota-kota yang tumbuh karena adanya pemusatan
kegiatan ini akan menimbulkan keuntungan aglomerasi (agglomerative
economies), yaitu bagi firm-firm yang berdekatan lokasinya dapat mengurangi
biaya produksinya karena dapat menggunakan fasiltas infrastruktur secara
bersama sama.
2.1.7.3. Pembangunan dan Tata Ruang Kota.
Pembangunan dalam tata ruang kota secara umum adalah suatu upaya secara
sadar untuk merubah suatu keadaan melalui perencanaan dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Sementara itu
pembangunan tata ruang dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai pekerjaanpekerjaan
konstruksi yang berhubungan dengan penggunaan tanah atau
64
berhubungan dengan tanah dan bangunan di atasnya atau berhubungan dengan
perubahan dalam intensitas penggunaan tanah, atau berhubungan dengan
menghidupkan kembali penggunaan yang semula sudah ada (Poerbo , 1999: 220).
Pembangunan kota baik secara luas maupun secara sempit, baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun oleh swasta hendaknya terorganisasi dan berdasarkan
Rencana Tata Ruang yang berlaku.
Perencanaan tata ruang di kota bertujuan untuk memberi arahan
perkembangan tata ruang agar terdapat keseimbangan yang dinamis dan serasi
antara berbagai manfaat/fungsi dalam ruang (Poerbo, 1999: 223). Perencanaan
yang terlalu deterministic dan kaku perlu dihindari, karena sulit untuk diterapkan.
Sebagai suatu contoh perencanaan penggunaan tanah/pengendalian penggunaan
tanah yang ditetapkan penggunaannnya ke depan dalam suatu Rencana
Pembangunan (Development Plan) yang dilakukan melalui pemberian izin pada
dua tingkat, yaitu “izin perencanaan (planning permit)_, dan “izin bangunan
(building permit)_. Kedua izin ini merupakan konsep pengendalian secara pasif
yang terbukti tidak dapat menghadapi tekanan-tekanan pembangunan serta tidak
cocok dengan rencana yang telah ditetapkan.Untuk menghadapi kendala ini dapat
dilakukan dengan menggunakan suatu sistem di mana pemerintah diberi
kewenangan-kewenangan yang lebih luas untuk mengadakan intervensi berupa
(Poerbo, 1999: 224) :
a. Melalui “merasionalisasikan hak untuk membangun (development
rights)_ sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa : semua “nilai
pembangunan (development value)_ sudah di tangan pemerintah, maka
tanah hanya dianggap mempunyai nilai penggunaan yang ada (existing
65
value). Dengan demikian siapapun yang ingin membangun cenderung
memintakan penetapan nilai dari pemerintah. Melalui mekanisme ini
penetapan- penetapan nilai pembangunan tidak lagi ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan pasar, melainkan oleh Rencana Pembangunan
Pemerintah, sehingga akan mendorong macam penggunaan tanah apa
yang boleh tumbuh di suatu tempat pada suatu saat tertentu melalui
Rencana Pembangunan kota.
b. Pemerintah Daerah diberi kewenangan jika diperlukan menguasai dan
membebaskan tanah di daerah-daerah yang sifatnya strategis untuk
mempengaruhi perkembangan penggunaan tanah ke depan.
Kedua intervensi ini dapat diartikan sebagai bentuk :
1. Intervensi melalui penggunaan tanah.
2. Perkiraan dan pengendalian dampak.
3. Intervensi melalui rasionalisasi hak untuk membangun.
Secara jelas hal – hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengurusan Tanah
Pengendalian Dampak
Membangun Rasionalisasi Pengendalian
Dampak
Sumber : Poerbo, Hasan, Lingkungan Binaan Untuk Rakyat,1999, Hal.224.
66
. Gambar 2.4.: INTERVENSI PEMERINTAH TERHADAP HAL DAN
PENGGUNAAN TANAH
Konsep di atas adalah konsep yang ideal, namun pada implikasinya sangat
sulit. Sebagai suatu contoh, konsep ini pernah dikembangkan di Inggris, namun
tidak dapat diterapkan karena banyak mendapat tantangan politis serta biayanya
terlalu mahal, disebabkan pembebasan tanah harus dilakukan atas dasar nilai
pasar, di mana semakin langka tanah harganya semakin mahal.(Poerbo, 1999:
225).Bagi masyarakat miskin, rumah tanah serta infrastruktur serta pelayanan
dasar sangat terbatas, komplek nya hak atas tanah serta prosedur yang berbelitbelit
dan biaya pengurusan yang dirasakan mahal, menyebabkan banyak
masyarakat miskin di perkotaan yang tinggal di atas tanah illegal.
2.1.7.4.Teori Konsentris (Concentric Theory)
Menurut Burgess, E.W. (1925: 10), sejalan dengan perkembangan
masyararakat, maka berkembang pula jumlah penduduk serta jumlah infrastruktur
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya
masyarakat ini pula proses segregasi dan diferensiasi di kalangan masyarakat akan
terjadi. Sebagai akibatnya daerah pemukiman dan institusi akan terdesak ke luar
secara “centrifugal” ke lokasi yang derajad aksebilitasnya jauh lebih rendah dan
kurang bernilai ekonomis. Sementara itu “business” akan terkonsentrasi pada
lahan yang paling baik di kota, sehingga sektor yang berpotensi ekonomi kuat
akan merebut lokasi yang strategis Sebagai suatu contoh, pusat-pusat pertokoan
atau Mall-mall selalu berada di kawasan yang strategis di kota.(Burgess,
E.W.1925: 13).
67
Selanjutnya Burgess mengatakan bahwa tanpa adanya “counteracting factors
terhadap proses ekologis yang berkembang, maka kota-kota besar (seperti di
Amerika Serikat), akan terbentuk ke dalam 5 zona yaitu:
1. Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Business Distric.
yaitu, daerah yang merupakan pusat dari segala kegiatan kota
antara lain kegiatan politik, sosial budaya, ekonomi dan
tehnologi. Zona ini terdiri dari 2 bagian , yaitu : (1). Bagian
paling inti (the heart of the area ) disebut RBD (retail business
district), contoh kegiatan di daerah ini adalah toko swalayan,
bank, hotel, perkantoran. (2) adalah bagian luarnya yang
disebut WBD (Wholesale Business District), yang ditempati
bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah
besar seperti pasar, pergudangan (warehouse).
2. Daerah Peralihan (DP) atau Transition Zone (TZ).
Zona ini merupakan daerah yang mengalami penurunan
kualitas Lingkungan yang terus menerus dan bertambah besar
penurunannya. Hal ini terjadi karena adanya intrusi fungsi yang
berasal dari Zona I, sehingga perbauran permukiman dengan
bangunan bukan untuk permukiman seperti gudang, kantor
yang sangat mempercepat terjadinya deteriorisasi lingkungan
permukiman. Perdagangan dan industri ringan dari Zona I,
banyak mengambil alih daerah pemukiman. Pengambil alihan
yang terus menerus mengakibatkan terbentuknya daerah
68
permukiman kumuh (slum area), yang semakin lama menjadi
daerah miskin (areas of proverty).
3. Zona Perumahan Para Pekerja Bebas (ZPPB)
Zona ini banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja,
antara lain oleh pekerja pabrik, industri yang di antaranya adalah
pendatang-pendatang baru dari zona 2.Sekalipun demikian belum
terjadi invasi dari fungsi industri dan perdagangan ke daerah ini,
karena letaknya masih dihalangi oleh zona peralihan. Di sini
kondisi pemukimannya masih lebih baik dibandingkan dengan
zona 2, sekalipun penduduknya masih masuk dalam kategori
low- medium status
4. Zona Permukiman Yang Lebih Baik (ZPB) atau “Zone of Better
Resident” (ZBR).
Zona ini dihuni oleh penduduk yang berstatus ekonomi
menengah-tinggi. Penduduk di sini sekalipun tidak berstatus
konomi sangat baik, namun mereka terdiri dari penduduk yang
mengusahakan sendiri usaha kecil-kecilan, para professional,
para pegawai dan sebagainya. Kondisi ekonomi mereka pada
umumnya stabil sehingga lingkungan permukimannya
menunjukkan derajad keteraturan yang cukup tinggi. Fasilitas
permukiman terencana dengan baik, sehingga kenyamanan
tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini.
5. Zona Penglaju (ZP) atau “Commuters Zona (CZ)”
69
Dimaksud penglaju pada zona ini adalah penglaju yang terjadi
dikota-kota di negara maju seperti kota- kota di Amerika
Serikat. Timbulnya penglaju merupakan suatu akibat adanya
proses desentralisasi permukiman sebagai dampak sekunder dari
aplikasi teknologi di bidang transportasi dan komunikasi. Di
daerah pinggiran kota mulai bermunculan perkembangan
permukiman baru yang berkualitas tinggi sampai kualitas
mewah.Kecenderungan penduduk untuk memilih zona ini
didorong oleh kondisi lingkungan daerah asal yang dianggap
tidak nyaman dan tertarik oleh kondisi lingkungan zona 5 ini yang
menjajikan kenyamanan hidup yang jauh lebih baik.
Lebih rinci Teori Kosentris dari Burgess dapat dilihat pada Gambar 2.5
sebagai berikut :
Sumber : Burgess, E.W.,1925, The Growth of City, in R.E.Park, University of
Chicago Press.
1
2
3
4
5
2 3 4 5
70
Keterangan : 1 = zona 1 (Daerah Pusat Kegiatan)
2.= Zona 2 (Daerah Peralihan)
3.= Zona 3.(Zona Perumahan Pekerja)
4 = Zona4 (Zona Pemukiman yang Lebih Baik)
5 = Zona 5 (Zona Penglaju)
Gambar 2.5.. MODEL ZONE KONSENTRASI ( BURGESS)
Menurut Murphy dalam Yunus, karena zona-zona yang tercipta menurut
teori ini tercapai sebagai akibat interaksi-interaksi dan interrelasi elemen-elemen
sistem kehidupan perkotaan dan mengenai kehidupan manusia, maka sifatnya
sangat dinamis tidak statis. Demikian juga teori ini hanya berlaku pada kota- kota
besar yang cepat berkembang.(Yunus.2004:12)
2.1.8. Pengertian Rumah, Tipe Rumah, Perumahan dan Permukiman
/kampung.
2.1.8.1. Pengertian Rumah dan Tipe Rumah.
Menurut Undang Undang No.4 Tahun 1992 (Indrayana, E. 2000:29)
pengertian Rumah, Perumahan dan Permukiman adalah sebagai berikut:
1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga
2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan.
3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
71
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan.
4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam
berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang prasarana
dan sarana lingkungan yang teratur.
Menurut Yudhohusodo (1991: 3), perumahan merupakan pencerminan dan
pengejawantahan dari diri pribadi manusia, baik secara perseorangan, maupun
dalam satu kesatuan dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya. Sedangkan
pengertian rumah menurut Silas (1996: 6) adalah :
“ Rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman dan bukan
semata – mata hasil fisik yang sekali jadi. Perumahan bukan
kata benda melainkan merupakan suatu kata kerja yang berupa
proses berlanjut dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi
penghuninya. Bermukim pada hakikatnya adalah hidup bersama,
dan untuk itu fungsi rumah dalam kehidupan adalah sebagai tempat
tinggal dalam suatu lingkungan yang mempunyai prasarana dan
sarana yang diperlukan oleh manusia dalam memasyarakatkan diri.”
Menurut Dewi S dalam Silas (2000:12), rumah dapat menjadi modal kerja
yang handal dalam mengembangkan kekuatan ekonomi keluarga melalui Usaha
Berbasis Rumah (UBR). Adapun cirri-ciri UBR dalam konteks pengalaman
kampung di Surabaya (Silas, 2000:13) adalah sebagai berikut:
a. Rumah dan rumah tangga sebagai modal kerja.
b. Kampung sebagai kesempatan dan kemudahan kerja mengingat
lokalitasnya yang baik terhadap system kota.
c. Komunalisme kehidupan masyarakat kampung menjadi kekuatan
untuk saling memberi dukungan dan memudahkan kerja.
d. Tenaga tembahan yang setiap saat diperlukan diluar tenaga
keluarga dengan mudah dapat diperoleh dari tetangga sekitarnya.
e. Melakukan proses pemberdayaan melalui proses saling mambantu
dan saling mengajarkan keahlian yang diperlukan; proses
penyuburan bersama.
72
f. Ada kelonggaran dalam banyak hal untuk melakukan UBR,
termasuk masalah perizinan, pungutan, dan sebagainya yang jauh
meringankan biaya kerja.
g. Menjadi basis bagi kekuatan kota yang bertumpu pada masyarakat
dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Rumah produktif dalam UBR menurut Silas (2000:19), mempunyai 5 ciri
pokok adalah:
a. Rumah dan rumah tangga menjadi modal dan basis dari kegiatan
ekonomi keluarga.
b. Keluarga menjadi kekuatan pokok dalam penyelenggaraan UBR,
mulai dari menyiapkan, menjalankan hingga mengendalikan
semua kegiatan, sarana dan prasarana yang terlibat
c. Dasar dan pola kerja UBR terkait (erat) dengan dan menjadi bagian
dari penyelenggaraan kerumah-tanggaan. Isteri/ibu dan anak-anak
menjadi tulang punggung dari penyelenggaraan UBR.
d. Rumah makin jelas merupakan proses yang selalu menyesuaikan
diri dengan konteks kegiatan yang berlaku, termasuk kegiatan (atau
tidak ada kegaiatan) melakukan berbagai bentuk UBR.
e. Berbagai konflik yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya
UBR dirumah dapat diatasi secara alami, baik internal rumah
maupun dengan lingkungan dan tetangga disekitarnya yang terlibat
langsung atau tidak langsung dalam berbagai kegiatan UBR
.
Menurut Lanti, A., (2000:11-12), pembangunan dan pengembangan
perumahan produktif dalam mengantisipasi tantangan ekonomi kerakyatan
ditempuh dengan kebijakan yang mendorong dan memfailitasi terbentuknya
iklim dan lingkungan usaha yang kondusif, melalui optimalisasi keterpaduan
pelaksanaan program perumahan dan pemukiman dengan program ekonomi
kerakyatan yang terkait dalam suatu kerangka skenario pembangunan wilayah
induknya. Selanjutnya Lanti menyatakan bahwa pendekatan dan strategi utama
yang harus dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat yang dilakukan melalui
Tribina yang meliputi: 1. Bina Manusia, 2. Bina Usaha dan 3. Bina Lingkungan.
73
Secara skematik pelaksanaan Tribina dapat dilihat pada Gambar 2.6 sebagai
berikut:
Sumber : Lanti A., Pembangunan Perumahan Dan Permukiman dengan
Perberdayaan Masyarakat, Seminar Internasional Rumah Produktif
15-16 September 2000, Surabaya Laboratorium Perumahan
Permukiman Jurusan Arsitektur ITS.
Gambar: 2.6. SKEMA PENDEKATAN TRIBINA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Bina Manusia:
a Pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan.
b Peningkatan pengetahuan dan kelompok masyarakat dalam
pemanfaatan teknologi tepat guna.
c Pelibatan masyarakat tersebut dengan mendasarkan kepada
aspek-aspek sosial, budaya dan eko-nomi masyarakat.
2. Bina Usaha:
a. .memberikan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha
yang produktif kepada masyarakat.
b. Mendukung usaha-usaha masyarakat dengan mendasarkan
kepada kondisi sosial, budaya dan ekonominya antara lain
meliputi usaha agribisnis, agroindustri, pertanian dan
perikanan, dalam Industri kecil maupun industri rumah tangga
serta perkembangan usaha jasa perdagangan.
c. Menumbuhkan sifat-sifat wirausaha kepada masyarakat
dalam menyongsong masa depan yang lebih baik tetapi
dengan mendasrkan kepada aspek-aspek sosial, budaya yang
dimiliki.
3. Bina Lingkungan :
INPUT
SUMBER DAYA
ALAM
(Konservasi dan
Pendayagunaan)
SUMBERDAYA
BUATAN
(Prasarana dan Sarana)
INSTITUSI
KEMASYARAKATAN
SUMBERDAYA
LAINNYA
- Modal
- Teknologi
- Bahan peralatan
OUTPUT
PEOPLE
PROSPERI
TY
PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT MELALUI
TRIBINA
Bina
Manusia
Bina
Usaha
Bina
Lingkungan
74
a.. Memfasilitasi upaya-upaya pembangunan prasarana dan sarana
untuk pengembangan wilayah.
b. Pengembangan dan pengelolaan hasi-hasil pembangunan fisik
oleh masyarakat selaku subyek pembangunan.
c. Aplikasi teknologi tepat guna dengan mendasarkan kepada
kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat dalam
pembangunan prasarana dan sarana wilayah.
Tipe Rumah tinggal/hunian dapat digolongkan kedalam 4 tipe
(Berdasarkan Keputusan MenperaNo.4/KPTS/BKP4/1995 tentang klasifikasi
rumah tidak bersusun), yaitu:
1. Rumah mewah adalah bangunan bertingkat maupun tidak
bertingkat dengan luas lantai bangunan yang relatif besar (kurang lebih
200 m2), dengan luas kaveling antara 54 m2 sampai dengan 200 m2
dengan harga lebih besar dari harga per m2 tertinggi untuk rumah
dinas (HST) lebih besar dari tipe A, atau luas kaveling antara 600 m2
sampai dengan 2000 m2 dengan harga lebih kecil dari HST tipe C
sampai dengan harga lebih besar dari HST tipe A, dengan
menggunakan bahan bangunan yang relatif mahal (spesifik)
2. Rumah menengah, adalah bangunan tidak bersusun dengan luas
lantai bangunan diatas 70 m2 sampai dengan 150 m2 dengan luas
kaveling 54 m2 sampai dengan HST tipe C atau sampai dengan tipe A
atau dengan luas kaveling 200 m2 sampai dengan 600 m2 dan HST ¾
tipe C atau tipe C sampai dengan tipe A.
3. Rumah sederhana adalah: rumah tidak bersusun dengan luas lantai
bangunan tidak lebih dari 70 m2 yang dibangun dengan luas kaveling
54 m2 sampai dengan 200 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak
melebihi dari harga per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah dinas
(HST) tipe C yang berlaku, yang meliputi rumah sederhana tipe
besar,rumah sederhana, dan kaveling siap bangun (Keputusan Menteri
Negara Perumahan Rakyat No 4/KPTS/BKP4 N/1995).
4. Rumah sangat sederhana adalah, rumah tidak bersusun yang pada tahap
awalnya yang menggunakan bahan bangunan berkualitas sangat sederhaa
dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum, dan fasilitas
sosial (peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.54/PRT/1991 tentang
pedoman teknik pembangunan perumahan sangat sederhana).
Rumah susun menurut UU.No.16 Tahun 1992 didefinisikan sebagai:
Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang
terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah
horizontal maupun vertical dan merupakan yang masing-masing dapat dimiliki
75
dan digunakan secara terbuka terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Rumah susun dapat dibagi kedalam 2 tipe yaitu:
a. Rumah susun mewah adalah: bangunan gedung bertingkat yang dibangun
dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal, maupun vertikal
dan merupakan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama, yang diperuntukkan bagi
masyarakat golongan berpendapatan menengah keatas. (UU.No.16 Tahun
1992 Tentang Rumah Susun).
b. Rumah susun sederhana adalah: Bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dengan menggunakan bahan bangunan berkualitas sederhana
dan ukuran relatif kecil memenuhi syarat teknis dalam suatu lingkungan
yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan yang dilengkapai
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (perturan
pemerintah No.4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun).
Dalam buku agenda 21 Indonesia Strategi Nasional untuk Pembangunan
Berkelanjutaan permukiman memiliki arti yang lebih luas dan tidak dapat
dipisahkan dari pengertian rumah; yaitu permukiman diartikan sebagai kawasan
perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan. Permukiman harus diwujudkan selaras dengan fungsi ekologis,
lapangan kerja, pelayanan dan transportasi.Di sini tercermin bahwa permukiman
harus dapat memenuhi aspek fisik dan non fisik dari penghuninya dan dapat
menampung dinamika yang berkembang di dalamnya.
2.1.8.2. Permukiman / Kampung Kumuh (Slum) dan Hunian Liar
Menurut Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil)
permukiman kumuh (slum) dapat diklasifikasikan ke dalam dua klasifikasi yaitu :
1. Fisik :
76
a. Berpenghuni padat > 500 orang/Ha
b. Tata letak bangunan (kondisinya buruk dan tidak memadai)
c. Kondisi konstruksi (kondisinya buruk dan tidak memadai)
d. Ventilasi (tidak ada, kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai)
e. Kepadatan bangunan (kondisinya buruk dan tidak memadai)
f. Keadaan jalan (kondisinya buruk dan tidak memadai)
g. Drainase (tidak ada dan kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai)
h. Persediaan air Bersih (tidak tersedia, kalau tersedia kwalitasnya
kurang baik dan terbatas, tidak/kurang lancar)
i. Pembuangan limbah manusia dan sampah (tidak tersedia, kalau
tersedia kondisinya buruk atau tidak memadai).
Dari poin b sampai dengan poin i kondisinya buruk atau tidak memadai.
2. Non Fisik :
a. Tingkat kehidupan Sosial ekonomi rendah
b. Pendidikan didominasi SLTP ke bawah
c. Mata pencaharian bertumpu pada sektor informal
d. Disiplin warga rendah
e. Dll.
Menurut Ditjen Bangda Depdagri, ciri-ciri permukiman atau daerah
perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah
sebagai berikut
1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan
rendah, serta memiliki sistem sosial yang rentan.
2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor
informal Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya
di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim,
misalnya memiliki:
a. Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2
b..Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha.
c. Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase,
dan persampahan).
d. Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun
<20% dari luas persampahan.
e. Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi
syarat minimal untuk tempat tinggal.
f Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan
keamanan.
77
g. Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan
ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
Sementara itu menurut Sinulingga Budi D. (1999: 112), permukiman kumuh
(slum) adalah permukiman dengan ciri–ciri sebagai berikut:. Penduduk padat
>400 orang/Ha, kondisi sarana lingkungan , sanitasi, fasilitas perkotaan jauh dari
standar kota yang baik.
Perumahan yang tidak teratur diperkotaan dapat dibedakan ke dalam dua
kategori, yaitu; tipe kampung dan tipe perumahan liar (Yudhohusodo, 1991: 5).
Perbedaan di antara keduanya adalah pada status pembangunan rumahnya.
Rumah-rumah kampung dibangun di atas tanah yang telah dimiliki, disewa atau
dipinjam dari pemiliknya. Dengan demikian , pembangunan rumah di kampung
dilakukan dengan setahu dan seizin pemilik tanahnya. Sedangkan rumah–rumah
di perumahan liar dibangun secara illegal, tanpa setahu dan seizin pemilik
tanahnya. Pengertian liar di sini tidak dikaitkan dengan ada atau tidaknya izin
mendirikan bangunan dari pemerintah. Rumah-rumah di kampung ada yang
memiliki izin mendirikan bangunan ada yang tidak.
Kampung sendiri diartikan sebagai lingkungan suatu masyarakat yang sudah
mapan yang terdiri dari masyarakat tergolong berpenghasilan rendah dan
menengah, yang pada umumnya tidak memiliki prasarana utilitas dan fasilitas
sosial yang cukup baik jumlahnya maupun kualitasnya.
Di dalam program KIP (Surabaya), Kampung mempunyai arti yang lebih
luas yaitu :
a. Kampung adalah bukan permukiman kumuh atau liar; ia merupakan
lanjutan dan perkembangan perumahan mandiri, umumnya pada
lahan milik tradisi
b. Kampung merupakan konsep pribumi tentang perumahan dan
masyarakat dalam beragam ukuran, bentuk dan kepadatan
78
c. Kampung letaknya strategis di bagian kota, memberi kesempatan luas
mencapai berbagai kesempatan kerja.
d. Kampung di dalamnya tergalang beragam industri rumahtangga dan
menghasilkan barang dan pelayanan siap pakai.
e. Kampung memberi perumahan pada dua pertiga penduduk kota,
menawarkan beragam standar perumahan pada berbagai tingkat harga,
utamanya bagi keluarga berpenghasilan rendah dan menengah
(Surabaya a City of Partnership,1993: 8 - 9)
Sedangkan Perumahan liar pada umumnya tumbuh agak jauh dari jalan
kendaraan, di pinggir-pinggir atau bantaran sungai, di sepanjang jalan kereta api,
dan dekat stasiun kereta api, di sekitar pasar, dan di tanah-tanah kosong . Daerah
tersebut pada umumnya merupakan tanah yang belum digunakan, ditinggalkan
atau yang tidak diawasi oleh pemiliknya, dan tanah-tanah yang semestinya tidak
boleh didirikan bangunan. Penghuni nya adalah penduduk pendatang yang pada
umumnya dari desa atau dari kota-kota lain, yang berpenghasilan rendah bahkan
sangat rendah. Pada umumnya mereka tinggal di gubuk-gubuk yang tak layak
huni. Kampung-kampung inilah yang kemudian membentuk kawasan atau
permukiman kumuh (slum ).
2.1.8.3. Lingkungan Permukiman
Penataan lingkungan merupakan faktor sangat penting dalam usaha perbaikan
permukiman. Sebagus apapun perbaikan permukiman tanpa memperhatikan
penataan lingkungan akan sia-sia. Sekalipun tempat tinggal, jalan, penerangan dan
lain-lain sudah memadai, akan tetapi apabila faktor lingkungan diabaikan, maka
permukiman akan terlihat kotor dan berkesan jorok bahkan yang sudah tertata rapi
akan menjadi kumuh kembali. Selain itu lingkungan yang buruk menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit.
79
Penataan lingkungan baik secara invidividuil seperti sistem sanitasi di
rumah-rumah (tersedianya saluran pipa air bersih , MCK), maupun penataan
lingkungan dalam skala yang lebih luas seperti penyediaan air bersih, saluran
pematusan (drainase), pembuangan air limbah serta pembuangan sampah adalah
sangat penting. Oleh karena itu salah satu indikator berhasil atau tidaknya
perbaikan permukiman adalah peningkatan kualitas lingkungan yang dapat diukur
dengan ada atau tidak serta baik atau buruknya fasilitas-fasilitas sanitasi tersebut
di atas.
2.1.8.4. Pembangunan Kota Berkelanjutan.
Pembangunan dan perbaikan kota di Indonesia pada umumnya masih
dipecahkan melalui cara berfikir dan bertindak tradisional dan konvensional atau
boleh dikatakan simtomatis : yaitu pembangunan atau perbaikan dilakukan
apabila timbul masalah atau kerusakan saja. Maka dari itu di dalam pembangunan
atau perbaikan kota di Indonesia perlu cara-cara berfikir baru yang memadu caracara
bertindak yang kreatif, inovatif sarat dengan gagasan segar, agar kota-kota di
Indonesia dapat betul-betul berkelanjutan. Lebih lanjut pembangunan
berkelanjutan diartikan sebagai (Budihardjo, 1999: 17):
Pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan
mereka kebutuhan mereka. Namun di dalam konsep ini masih perlu diungkapkan
berbagai perkembangan gagasan pemikiran dan konsep baru tentang
keberlanjutan. Sementara itu pembangunan kota yang berkelanjutan harus
menjamin agar tujuan pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan
80
mencapai hasil seperti yang diharapkan. Tujuan dari pembangunan kota yang
berkelanjutan adalah (Laboratorium Perumahan & Pemukiman – ITS & LPM –
ITS, 2000 )
a. Menjamin tingkat kehidupan dan penghidupan warga kota yang
layak melalui penciptaan lapangan kerja, karena pertumbuhan
ekonomi kota yang kuat dan mantap
b. Tingkat kemiskinan warga kota yang terus turun. Ini dicapai
melalui pelibatan masyarakat secara luas melalui promosi
pembangunan yang merata dan adil
c. Melindungi lingkungan hidup melalui pelestarian sumber daya dan
meminimalisasi pencemaran dalam segala bidang.
Selanjutnya di dalam pembangunan kota berkelanjutan ini perlu adanya
integrasi yang efektif dari pertumbuhan, pemberdayaan masyarakat yang
menciptakan kemandirian (self - empowerment) serta pemerataan dan lingkungan
yang tidak rusak.sebagaimana digambarkan pada Gambar berikut :
Sumber : Laboratorium Perumahan & Pemukiman-ITS & LPM-ITS,2000
Gambar 2.7. BAGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Menurut Swasono (2004, c) pada hakikatnya secara mendalam dapat
dikaji bahwa tidak selalu growth (pertumbuhan) yang mendorong terciptanya
empowerment (pemberdayaan) melainkan empowerment lah akan menciptakan
GROWTH
EMPOWERMENT
EQUITY
81
peningkatan produktivitas dan pada gilirananya akan mendorong terjadinya
growth. Sedangkan empowerment yang menghasilkan self-empowerment yang
merata yang dapat mendorong terjadinya growth atau pertumbuhan yang merata
dan pada akhirnya akan mendorong terciptanya equity atau pemerataan.
Dari berbagai rangkuman konsep berkelanjutan didefinisikan sebagai
(Laboratorium Perumahan & Pemukiman – ITS & LPM – ITS, 2000 ) :
a. Konsep umum yaitu : pembangunan yang memenuhi keperluan saat ini
tanpa mengalahkan kemampuan generasi mendatang memenuhi yang
diperlukannya.
b. Menurut para biolog adalah upaya menghemat dan menyelamatkan modal
alam atas nama generasi mendatang.
c. Para ekonom lebih tertarik mengembangkan instrumen guna dapat
memasukkan biaya lingkungan ke dalam aktivitas industri dan ekonomi
melalui intervensi pemerintah terhadap pasar
d. Para sosiolog lebih banyak berbicara tentang keberlanjutan umat manusia
yang tercermin pada menurunnya kemiskinan dan hilangnya rasialisme
dalam lingkungan.
e. Para perencana kota melihat upaya praktis dalam perencanaan regional,
masyarakat dan neighbourhood atau rukun warga.Intinya adalah
menyatukan kota dan lingkungan secara luar biasa.
f. Ahli etika lingkungan beranggapan bahwa bersikap preservasi (lebih
menekankanpada kerusakan) sebagai prinsip sumber daya alam jauh lebih
superior dari pda konservasi (lebih menekankan pada faktor kehilangan)
dan eksploitasi.
Dari segi ekonomi selain pengembangan instrumen guna dapat memasukkan
biaya lingkungan ke dalam aktivitas industri, juga pentingnya usaha
pemberdayaan rakyat untuk peningkatan produktivitasnya agar mereka mampu
meningkatkan daya-belinya sehingga mereka mampu meraih “nilai-tambah
ekonomi_ dan sekaligus “nilai tambah- sosial_ dan mampu menolong dirinya
sendiri (self-empowering). Dengan demikian secara konkret mereka dapat
menjadi asset pembangunan berkelanjutan.(Swasono, 2004, c).
82
Winoto dalam Sinulingga (1999: 219) didalam paradigmanya (yang sedang
dalam proses perkembangan) mengatakan bahwa, pencapaian pembangunan
berkelanjutan membutuhkan tujuh hal yaitu :
a. Sistem politik yang menjamin partisipasi efektif dan aman bagi warga
negara dalam proses pengambilan keputusan pembangunan.
b. Sistem ekonomi yang mampu menciptakan surplus dan teknologi yang
berdasar pada kebutuhan dan kemampuan masyarakat sendiri secara
berkelanjutan
c. Sistem sosial yang memberikan media bagi anggota atau kelompok
masyarakat untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang lahir
akibat ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh proses
pembangunan.
d. Sistem produksi yang memperhatikan keberlangsungan ekosistem.
e. Adanya sistem teknologi yang secara terus menerus mencari jawaban
terhadap permasalahan-permasalahan riel yang dihadapi masyarakat.
f. Adanya sistem internasional yang menjamin tercapainya sistem hubungan
perdagangan yang adil antar negara dan antar kelompok masyarakat.
g. Sistem administrasi yang fleksibel dan memiliki kemampuan untuk
mengoreksi diri dari waktu ke waktu.
Pembangunan berkelanjutan menurut Goodland, R. (1995: 24), dapat
dibedakan menjadi 4; yaitu kelastarian lingkungan (enviremental sustainability),
Keberlangsungan ekonomi (economic sustainability), kelestarian sosial (social
sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) itu
sendiri. Dalam hal ini pengertian pembangunan berkelanjutan merupakan
intergrasi dari tiga aspek yaitu: kelestarian sosial, kelestarian lingkungan dan
keberlangsungan ekonomi.
Menurut Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi Tahun 2002, pembangunan
berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang
memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Sementara itu tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara
untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumber daya alam secara
83
bijaksana, sehingga sumber daya alam terbarukan (renewable) dapat dilindungi
dan penggunaan sumber alam yang dapat habis (tidak terbarukan / nonrenewable)
pada tingkat di mana kebutuhan generasi mendatang tetap akan
terpenuhi.
Pembangunan kota berkelanjutan juga diartikan sebagai pembangunan yang
harus mampu memberikan jaminan untuk terus berkembang maju bagi
penduduknya, demikian pula dalam memberikan fasilitas (akses) yang
memungkinkan terjadinya mobilitas vertical (upward mobility) bagi kelompok
miskin, di samping tetap memberikan kontribusi terhadap kemajuan nasional
(World Bank, World Development Report 2000).
Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan
berkelanjutan tidak hanya harus memperhatikan aspek ekonomi saja melainkan
juga harus memperhatikan aspek sosial dan aspek ekologi.
2..1.8.5. Usaha Perbaikan Kampung (Kampung Improvement Program
/ KIP )
Di Indonesia program perbaikan kampung atau dikenal dengan KIP
(Kampung Improvement Program) telah ada pada zaman pendjajahan. Program
KIP pertama di Indonesia adalah program KIP yang dilaksanakan di Surabaya,
yaitu pada tahun 1923. Pada waktu itu Program KIP diadakan untuk menanggapi
politis etis dari kaum oposisi di Parlemen Belanda dengan tujuan untuk
melindungi penduduk yang bermukim di dekat kampung yang pada umumnya
dihuni warga Eropa dari bahaya epidemi. Orientasi KIP pada saat itu hanyalah
untuk menangani aspek sanitasi kampung saja (Silas, 1996: 8).
84
Pada zaman kemerdekaan , pada masa Orde Baru, KIP dilaksanakan kembali
(yaitu tahun 1968-1969), dengan menggunakan prinsip dasar yang sama yaitu
melayani penduduk di kampung agar terjadi proses : pengadaan perumahan yang
memenuhi syarat. Prioritas pertama adalah lingkungan yang baik, kemudian
berkembang menjadi perumahan yang memenuhi infrastruktur lingkungan yang
baik. (Silas, 1996: 9).
Perang Dunia ke II telah mengakibatkan rusaknya pemukiman dan
perumahan di Kota Surabaya. Kerusakan ini berlanjut sampai dengan masa
revolusi kemerdekaan (Th. 1945-Th. 1950). Pada era ini semua kegiatan dan
pembangunan boleh dikatakan tidak ada, sampai dengan terselenggaranya
Konggres Perumahan Rakyat Sehat (25-30 Agustus 1950), yang memutuskan
pemerintah membentuk kelembagaan khusus dalam Kementrian Pekerjaan
Umum. Bentuk nyata dari kelembagaan ini adalah dibentuknya Yayasan Kas
Pembangunan, yang secara kooperatif dengan cara menabung memenuhi
kebutuhan perumahan penduduk dan pegawai negeri yang penghasilannya
terbatas.
Pada tahun 1974, Pemerintah Indonesia menandatangani “Loan Agreement _
dengan Bank Dunia (world Bank) sebagai bantuan untuk melaksanakan program
KIP yang dimulai dari Jakarta kemudian disusul dengan Surabaya pada tahun
1976. Selebihnya selama Pelita II Program Perbaikan Kampung dilaksanakan di
kota-kota besar yang keuangannya cukup kuat untuk membiayai sendiri. Pada era
ini Program Perbaikan kampung masih diutamakam pembangunan secara fisik.
Sejak PELITA III Program Perbaikan Kampung tidak lagi hanya dipusatkan
pada perbaikan fisik melainkan tujuan akhir perbaikan kampung adalah
85
meningkatkan taraf hidup masyrakatnya. Sejalan dengan perbaikan fisik
lingkungannya, (seperti pembangunan Saluran Pipa Air Bersih, Jalan Kendaraan,
Jalan Setapak, MCK, Tempat Pembuangan Sampah, Saluran Pematusan, Pospos/
Klinik Kesehatan, peningkatan Rata-rata Luas Ruangan rumah per penduduk
dengan membangun rumah susun) diusahakan pula peningkatan ekonomi
masyarakatnya. Selain itu untuk peningkatan kualitas hidup diwujudkan dengan
peningkatan kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan. Dengan kata lain tujuan
utama Program Perbaikan Kampung (KIP) adalah bina lingkungan, bina manusia
(peningkatan kualitas hidup), dan bina usaha (peningkatan ekonomi)
(Yudhohusodo, 1991: 312 ).
Di Surabaya gagasan perbaikan kampung bersama masyarakat, terwujud
melalui proyek-proyek pembangunan, perbaikan serta pemeliharaan. Proyek yang
pertama dilaksanakan adalah Proyek W.R. Supratman yang dimulai pada tahun
1969-1974. Realisasi pada proyek ini berupa perbaikan kampung didasarkan pada
penyediaan plat beton cetak yang dapat diperoleh warga kampung dan yang
bersedia melakukan pemasangan atas usaha masyarakat itu sendiri. Proyek ini
didanai melalui anggaran Bagian Pemeliharaan Kota, sehingga besarnya tidak
dapat dipastikan.
Proyek W.R. Supratman ini berlanjut dari periode tahun 1974-1975
sampai dengan periode 1982-1983. Pelaksanaan program awal dari KIP ini
bertujuan untuk membantu aktifitas/kegiatan masyarakat pada umumnya dan
penghuni/warga kampung khususnya di dalam memperbaiki dan memelihara
kampungnya, dengan jalan memperbaiki fisik lingkungan yaitu menyediakan/
meningkatkan prasarana pokok secara layak, yang meliputi:
86
a. jalan untuk orang dan kendaraan termasuk kelengkapannya
b. saluran pematusan
c. jaringan air minum dengan kran air untuk minum
d. fasilitas sanitasi untuk mandi, cuci, kakus (MCK)
e. fasilitas kesehatan masyarakat
f. fasilitas pendidikan dasar.
Secara rinci realisasi Proyek Perbaikan Kampung (KIP) W.R.Supratman
dapat dilihat melalui Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1.
REALISASI PROYEK W.R.SUPRATMAN
TAHUN 1974/1975 S-D TAHUN 1982 / 1983
Tahun
Anggaran
Banyak
nya
Lokasi
Panjang
Jalan Aspal
(m 2)
Panjang Jalan
Pedestrian(m2)
Panjang
Saluran
(m2)
Panjang
Jembatan
(m 2)
Dam
Waduk
(unit)
1974/1975
1975/1976
1976/1977
1977/1978
1978/1979
1979/1980
1980/1981
1981/1982
1982/1983
55
68
48
68
93
96
156
92
47
8.567
14.170
14,425
15.490
29.810,5
21.010
39.510
25.853
21.177
---
---
---
1.027
750
927
----
----
----
1.061
----
----
46
505
1.553
3.915
4.036
4.390
.. ---
.---
55
----
----
1.230
----
----
----
---.
---.
54,60
---.
----
----
----
….
….
Sumber : Program Perbaikan Kampung Di Surabaya 1969-1982, Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.
Keterangan: ---- tidak terlaksana / tidak ada program.
Pada tahun 1998, Program Perbaikan Kampung di Surabaya mulai
disempurnakandengan Program Perbaikan Kampung Komprehensif (KIP-K),
dengan pendekatan yang memadukan antara Battom Up dan Top Down. dengan
pendekatan yang memadukan antara Battom Up dan Top Down. Secara Umum
tujuan implementasi Program Perbaikan Kampung Komprehensif (Laboratorium
Perumahan & Permukiman ITS & LPM- ITS , 2000 ) adalah:
87
a. meningkatkan infrastruktur dan kualitas lingkungan permukiman
kampung.
b. meningkatkan status kepemilikan lahan rumah
c. meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan
d. meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Pada tahun 2001, Program KIP-K dikembangkan lagi menjadi
pembangunan yang selain merupakan pembangunan di bidang fisik lingkungan
permukiman juga melaksanakan pembangunan di bidang sosial ekonomi
masyarakatnya melalui kegiatan-kegiatan untuk pemberdayaan masyarakat,
sebagai upaya untuk menggalang sinerji semua kekuatan masyarakat yang
diharapkan dapat berperan aktif dalam pelaksanaan program pembangunan
permukiman. Dengan demikian perbaikan kampung adalah bagian dari
pemberdayaan golongan masyarakat rendah, di mana pemberdayaan dapat
diartikan sebagai meningkatkan produktivitas: dibidang ekonomi (menciptakan
added value) serta peranannya (role nya) di masyarakat akan menciptakan sosiocultural
added value). (Swasono, 2002)
Tujuan utama KIP-K 2001 (Kampung Improvement Program
Komprehensif 2002, Jurusan Arsitektur ITS, 2002) adalah meningkatkan kualitas
hidup masyarakat yang berorientasi pada pembangunan fisik dan non fisik
dilaksanakan melalui:
1. Program pengembangan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas
hidup warga masyarakat diantaranya: peningkatan keterampilan/ usaha
kecil dan kesehatan
2. Program pinjaman rumahtangga; yaitu pinjaman perbaikan sarana
tempat tinggal, untuk perbaikan fasilitas rumah seperti pembuatan
septic tank, perbaikan dapur dan penyelesaian air bersih. Dapat pula
digunakan untuk usaha ekonomis seperti warung dan usaha rumah
tangga
3. Program perbaikan fisik lingkungan, yaitu bantuan murni untuk
memperbaiki fisik lingkungan kampung meliputi: jalan setapak,
selokan, MCK dan persampahan.
88
4. Program peningkatan manajemen lahan, untuk membantu warga
memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB) dan sertifikat tanah.
Dengan memberikan kemudahan bantuan dalam proses prosedur
pengurusan dan pengajuan IMB serta sertifikat tanah.
Sasaran yang hendak dicapai pada program ini adalah untuk :
1. Memperbaiki tempat tinggal
2. Memperbaiki fisik lingkungan
3. Meningkatkan keterampilan
4. Memperoleh kredit usaha
Pelaksanaan KIP-K dibagi dalam 10 tahap terdiri dari 6 tahapan untuk persiapan
dan 4 tahapan pelaksanaan. Enam tahapan persiapan terdiri dari :
1. Community self survey.
2. Pembentukan Kelembagaan terdiri
dari: Yayasan Kampung, Koperasi Kelompok
Swadaya Warga.
3. Pelatihan Manajemen Kelembagaan.
4. Identifikasi calon anggota
Kelembagaan Swadaya Warga
5. Penyusunan Rencana Kegiatan.
6. Penandatanganan Kesepakatan
Rencana Kegiatan.
Tahapan pelaksanaan terdiri 4 tahapan yaitu :
ii. Pencairan Dana.
iii. Pelaksanaan.
iv. Monitoring.
v. Pelaporan.
Program KIP-K dibiayai oleh Pemerintah Kota Surabaya dengan dana yang
berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU). Dana implementasi Prpgram KIP-K ini
dimanfaatkan dengan dua pola, yaitu :
a. Dana Hibah (maksimal 30%).
89
b. Dana Pinjaman Bergulir (nimal 70%).
Rincian pemanfaatan dana pada KIP-K Tahun 2002 dan Tahun 2003 adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.2.
Pemanfaatan Dana pada Program KIP-K
Tahun 2002 dan Tahun 2003
Alokasi Dana
Hibah Bergulir/pinjaman
Komponen
Program
Kegiatan
2002 2003 2002 2003
Perbaikan fisik
lingkungan
Pembangunan jalan lingkungan,
normalisasi saluran, MCK
umum,dll.
20 %
15 %
-----
-----
Penghijauan dan
kebersihan
lingkungan
Pembuatan lahan produktif,
penanaman lahan
potensial,penyediaan / perbaikan
fasilitas persampahan
2,5%
7,5%
-----
----
Pembentukan Kelembagaan,
manajemen dan operasional
Kelembagaan
7,5%
7,5%
-----
----
Pengembangan
Masyarakat /
SDM
Pelatihan keterampilan ---- ---- 10 % 10 %
Pengembangan
Usaha Kecil &
Menengah
Pelatihan Pengembangan Usaha
dan pemberian kredit lunak untuk
modal usaha
----
----
30 %
30 %
Perbaikan
rumah
Perbaikan dapur, KM/WC,
sambungan air bersih, pengurusan
IMB
----
----
30 %
30 %
Total persentase alokasi dana
30 %
30 %
70 %
70 %
Sumber: Booklet Umum, KIP-K 2002-2003, Tim Pendamping Masyarakat,
Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Ketrangan : --- = tidak ada rencana maupun pelaksanaan
Catatan : a. alokasi dana untuk hibah, ko,posisinya tidak kaku dan dimungkinkan
terjadinya perbedaan antara satu lokasi dengan lokasi lainnya dan me
rupakan alokasi maksimum. Sisa dana hibah dapat dipindahkan ke
alokasi dana bergulir / pinjaman.
b. alokasi dana bergulir / pinjaman tidak dapat dipindahkan untuk dana
hibah
Menyimak tujuan baik KIP-K awal maupun kelanjutannya adalah sesuai
dengan tujuan MDG Indonesia ( Indonesia’s Mellenium Development Goals),
utamanya poin 1,2 dan 7 . Adapun poin 1.dari MDG Indonesia adalah
mennggulangi kemiskinan dan kelaparan. Poin 2. mencapai pendidikan dasar
90
untuk semuanya. Sedangkan poin 7. adalah memastikan keberlanjutan lingkungan
hidup.dengan target: a. memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan kebijakan dan program nasional, b. penurunan sebesar separuh penduduk
tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta
fasilitas sanitasi dasar pada tahun 2015, c. mencapai perbaikan yang berarti
dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020.
Perbedaan antara KIP awal dengan KIP Komprehensif (Laboratorium Perumahan
dan Pemukiman ITS dan LPM ITS , 2000: V-13) adalah:
KIP awal lebih diarahkan pada perbaikan prasarana fisik baik rumah
maupun lingkungan kampung untuk peningkatan kesehatan msyarakat dan
aktifitas penduduk yang berakibat meningkatkan ekonomi penduduk kampung.
Sedangkan KIP Komprehensip adalah suatu program pembangunan yang
bertujuan meningkatan kualitas hidup masyarakat. Yang berorientasi pada
pembangunan fisik dan non fisik
Sasaran pelaksanaan KIP-K mulai dari 1998/1999, tahun 2001, tahun 2002
dan tahun 2003 adalah sebagai berikut :
Pada Tahun 1998/1999, program KIP-K dilaksanakan di 15 Kelurahan :
1. Krembangan Utara
2. Medokan Ayu
3. Gunung Anyar Tambak
4. Pacar Kembang
5. Semolowaru
6. Karah
7. Wonokromo
8. Jemur Wonosari
9. Jajar Tunggal
10. Pakis
11. Gadel
12. Sememi
13. Bangkingan
14. Simokerto
91
15. Gundih
Pada Tahun 2001 dilaksanakan di 4 Kalurahan
1. Sumur Welut
2. Penjaringan Sari
3. Nginden Jangkungan
4. Kejawan Putih Tambak
Pada Tahun 2002 dilaksanakan di 6 Kelurahan :
1. Tembok Dukuh
2. Banyu Urip
3. Kupang Krajan
4. Simolawang
5. Sidotopo Wetan
6. Wonorejo
Pada Tahun 2003 dilaksanakan di 8 Kelurahan :
1. Kenjeran
2. Keputih
3. Sukolilo
4. Gading
5. Pegirian
6. Pagesangan
7. Tandes Lor
8. Tandes Kidul
Dalam realisasi Program Perbaikan Lingkungan KIP-K ternyata tidak semua
program terlaksana. Pada periode Tahun 1998/1998 (Tabel 2.3), hampir semua
program Perbaikan Lingkungan terlaksana kecuali program penghijauan dan
pertamanan tidak terlaksana.
Pada Tahun 2001 semua program Perbaikan fisik Lingkungan terlaksana kecuali
pembangunan/perbaikan MCK Pada Tahun 2002 dan Tahun 2003 semua
program Perbaikan Lingkungan dilaksanakan. Sekalipun perbaikan/pembangunan
jalan kampung, perbaikan/pembangunan saluran/gotkampung, perbaikan/
pembangunan persampahan, pembangunan pertamanan jumlahnya lebih banyak
92
dibanding realisasi program pada tahun-tahun sebelumnya, namun pada tahun
2002 dan tahun 2003, perbaikan MCK lebih kecil dibandingkan dengan tahuntahun
sebelumnya.
Tabel 2.3.
REALISASI PROGRAM PERBAIKAN FISIK LINGKUNGAN
KIP-K Di KOTA SURABAYA TAHUN 1998-TAHUN 2003
Perbaikan Tahun Fisik Lingkungan
JK (m2) SK (m2) PS (m2) MCK (unit) T/P (unit)
1998/1998
7.224,60
5.484,00
1.241
10
0
2001
1.997.00
1.166.00
148
0
2
2002
6.528.50
541.00
211
3
305
2003
2.442.37
1.099.70
666
2
2..408
Sumber : Yayasan Kampung dan KSU di 33 Kelurahan
Keterangan : JK = Jalan Kampung
SK = Saluran/Got Kampung
PS = Persampahan
MCK = Mandi, Cuci, Kakus
T/P = Taman/Penghijauan
Pada Program Pengembangan Masyarakat tidak semua program
terlaksanakan Pada Tahun 1998/1999 semua program Pengembangan Masyarakat
terlaksana. Namun pada Tahun 2001 Pelatihan Kesehatan Lingkungan tidak
terlaksana Pada Tahun 2002 ada dua program yang tidak terlaksana yaitu;
Pelatihan Kesehatan Lingkungan dan Pelatihan Usaha Kecil. Sementara ada 3
program yaitu; Kursus Keterampilan, Pelatihan Kesehatan Lingkungan dan
Pelatihan Usaha kecil yang tidak terlaksana pada tahun 2003. Kegiatan terbanyak
dari periode 1998/199, tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 adalah pemberian
kredit usaha. Kursus keterampilan terbanyak hanya dilaksanakan pada periode
tahun 1998/1999 dan pada Tahun. 2003 bahkan tidak dilaksanakan. Realisasi
93
Program Pengembangan Masyarakat KIP-K tahun 2002 dan 2003 dapat dilihat
pada Tabel 2.4. pada halaman 93.
Tabel 2.4.
REALISASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
KIP-K DI SURABAYA
TAHUN 1998/1999, TH..2001,TH.2002, TH.2003
Pengembangan Tahun Masyarakat
KUK
(unit)
KK
(unit)
P-Lbg
(Kegiatan)
P-KL
(Kegiatan)
P-UK
(Kegiatan)
1998/1999
2.112
609
59
41
3
2001
604
12
11
0
2
2002
1.598
13
13
0
0
2003
2.438
0
8
0
0
Sumber : Yayasan Kampung dan Ksu di 33 Kalurahan.
Keterangan : KUK = Kredit Usaha Kecil
KK = Kursus Keterampilan
P-Lbg = Pelatihan Kelembagaan
P-KL = Pelatuhan Kesehatan Lingkungan
P-UK = Pelatihan Usaha Kecil
Seperti halnya program Perbaikan Fisik Lingkungan dan Pengembangan
Masyarakat dalam KIP-K, Program Manajemen Lahan dan Perbaikan Rumah
tidak semua program yang direncanakan terlaksana. Pada Tahun 1998/1999,
semua program terlaksana. Pada tahun-tahun selanjutnya selalu ada program yang
tidak terlaksana.
Pada Tahun 2001, program bantuan pengurusan IMB tidak terlaksana. Pada
Tahun 2002 sebagaimana Tahun 1998/1999 semua program terlaksana.
Sebaliknya pada Tahun 2003 ada tiga program yang tidak terlaksana, yaitu
program bantuan pengurusan sertifikat dan bantuan pengurusan IMB serta
94
program perbaikan dapur tidak terlaksana. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 2.5. pada halaman 94.
Tabel 2.5.
REALISASI PROGRAM MANAJEMEN LAHAN DAN
PERBAIKAN RUMAH KIP-K DI SURABAYA TH.1998/1999,
TH. 2001, TH.2002, Th.2003
Managjemen
Lahan
Perbaikan Tahun Rumah
ST
(persil)
IMB
(persil)
PR
(unit)
PD
(unit)
PMCK
(unit)
SAB
(unit)
1998/1999
1.035
264
1.507
236
245
588
2001
17
0
145
26
13
60
2002
16
3
117
27
21
72
2003
0
0
77
0
1
2
Sumber : Yayasan Kampung dan KSU di Surabaya
Keterangan : ST = Bantuan Pengurusan Sertifikat Tanah
IMB = Bantuan Pengurusan IMB
PR = Perbaikan Rumah
PD = Perbaikan Dapur
PMCK = Perbaikan MCK
2.1.9. Teori Kesehatan Lingkungan
Lingkungan Hidup menurut U.U. RI. Nomer 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup, (Mukono, 2000: 8) adalah:
Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya
Kesehatan lingkungan pada permukiman atau perumahan sangat dipengaruhi oleh
kondisi ekonomi, sosial, pendidikan, tradisi/kebiasaan, suku geografi dan kondisi
lokal.(Mukono, 2000: 155). Selanjutnya menurut Mukono, selain itu lingkungan
permukiman / perumahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menentukan
95
kualitas lingkungan pemukiman tersebut, yaitu fasilitas pelayanan, perlengkapan,
peralatan yang dapat menunjang terselenggaranya kesehatan fisik, kesehatan
mental, kesehatan sosial bagi individu dan keluarganya.
Sementara itu Blum (1981: 4) mengemukakan teorinya bahwa kesehatan
(well-being/health) itu ditentukan oleh 4 faktor, yaitu 1. Faktor lingkungan, 2
gaya hidup (life-style), 3 faktor genetic (genetic factors) dan 4 pelayanan
kesehatan (medical care services). Di negara-negara yang sedang berkembang
yang paling menentukan derajat kesehatan adalah faktor lingkungan diikuti
kemudian berturut-turut oleh faktor gaya hidup, faktor genetik dan terakhir oleh
faktor pelayanan kesehatan. Menurut Blum semakin maju dan kaya suatu
masyarakat maka faktor yang menentukan tingginya derajat kesehatan bergeser
dari faktor lingkungan menjadi faktor gaya hidup. Hal ini terbukti di negaranegara
maju di mana lingkungan hidup sudah tertata, gaya hidup merupakan
faktor terpenting yang mempengaruhi kesehatan masyarakatnya.
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu
Ismail, (th. 2000) masalah yang dikemukakan dalam penelitiannya yang
berjudul“Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Miskin Perkampungan
Kumuh di Yogyakarta dan Surabaya_ adalah siapa yang akan ditanggulangi
(diberdayakan), jenis penanggulangan yang bagaimana yang harus diberikan.
Dalam penanggulangan tersebut instansi ataukah kelompok masyarakat, yang
mana yang harus dilibatkan serta bagaimana dan dalam apa mereka dilibatkan.
Tujuan utama penelitiannya adalah: 1 mengkaji karakteristik sosial ekonomi
masyarakat miskin perkampungan kumuh; 2 mengkaji jenis usaha yang sudah,
96
sedang dan akan dikembangkan oleh masyarakat miskin perkampungan kumuh; 3
menganalisis tingkat keberhasilan program penanggulangan kemiskinan
masyarakat perkampungan kumuh terhadap pengembangan usaha yang mereka
lakukan. Studi ini dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep kemiskinan,
ukuran kemiskinan, kampung kumuh, pemberdayaan dan metode pemberdayaan.
Hasil studi mengungkapkan bahwa akibat krisis ekonomi, ternyata tidak hanya
kemiskinan masyarakat perkampungan kumuh saja yang harus ditanggulangi
(diberdayakan), melainkan juga masyarakat yang kena PHK dan mereka yang
tidak mempunyai pekerjaan di Kalurahan Keparakan.
Di dalam disertasinya Indrayana (2000), menganalisis Perbaikan Permukiman
berkepadatan tinggi dan yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilkan rendah dari
sisi kesehatan. Masalah yang dikemukakan adalah apakah perbaikan sarana
prasarana serta fasilitas fisik di permukiman berkepadatan tinggi serta dihuni oleh
masyarkat berpenghasilan rendah menurunkan angka kesakitan. Lebih lanjut
dianalisis juga peran serta masyarkat apakah cukup berarti di dalam menurunkan
angka kesakitan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi penyakit
yang terkait dengan waterborn diseases dan airborn diseases sesudah KIP
menurun 11,50%. Semula frekuensi penyakit sebelum KIP 874 kejadian dan
setelah KIP 797 kejadian.
Hasil penelitian Masjkuri, Siti U. (1992). yang berjudul Permintaan Rumah
Susun Sederhana di Daerah Tingkat II Kota Surabaya, menunjukkan bahwa
rumah susun yang dijual bebas kurang diminati masyarakat miskin, karena selain
harga tidak terjangkau juga dianggap kurang nyaman untuk ditempati (terlalu
sempit). Sementara rumah susun sewa serta pengganti dari pemerintah sebagian
97
(27 %) dialih hunikan oleh penghuninya kepada orang lain, dan kemudian mereka
pindah berkumuh di tempat lain. Kondisi seperti ini disebabkan secara ekonomi
mereka tidak mampu untuk menanggung biaya-biaya perumahan yang harus
ditanggung. Sehingga program penempatan penduduk menjadi penggusuran
secara tidak sengaja dan tidak kentara.
Hadi, (2003 ) dalam skripsinya yang berjudul Permintaan Rumah Susun Sewa
Waru Gunung, menyatakan dalam hasil penelitiannya ternyata harga (biaya hak
hunian) sangat dominan mempengaruhi permintaan rumah susun sewa tersebut.
Di dalam kenyataannya rumah susun sewa banyak yang dialih hunikan dengan
imbalan sejumlah uang, imbalan inilah yang dominan mempengaruhi permintaan
rumah susun., sehingga perlu adanya monitoring yang lebih ketat agar tidak
terjadi praktek alih huni seperti yang biasa terjadi.
Beberapa temuan dalam penelitian Ismail, (2000) yang berjudul
Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Perkampungan Kumuh di Perkotaan :
Kasus Yogyakarta dan Surabaya adalah : Kemiskinan bukan saja berdemensi
ekonomi tetapi juga berdemensi sosial, budaya dan politik. Dilihat dari demensi
ekonomi, maka pemberdayaan masyarakat miskin sehingga terangkat dari
kemiskinan sama halnya dengan pemberdayaan ekonomi mereka. Pemberdayaan
ekonomi sama artinya dengan pemberdayaan faktor-faktor produksi yang ada
pada mereka seperti tenaga kerja, kapital, tanah, keahlian dan informasi.
Selanjutnya ditemukan 99% dari responden di Yogyakarta dan Surabaya tidak
pernah mendapatkan pelatihan atas sponsor dari pemerintah dengan kondisi
semacam ini, sulit bagi masyarakat miskin di perkotaan mampu meningkatkan
potensi keterampilan mereka.
98
Hasil penelitian Masloman, (1999) dengan judul “ Pengembangan
Pemukiman RS Dan RSS Di Kotamadya Manado, menemukan kenyataan bahwa
Rumah Sangat Sederhana (RSS) Di Kota Madya Manado dipandang sebagai
barang superior bagi para konsumennya sedangkan Rumah Sederhana (RS)
menjadi barang inferior. Kenyataan menunjukkan bahwa rumah tangga konsumen
RSS adalah mereka yang berpendapatan pas–pasan. Sementara itu konsumen
yang pendapatannya berlebih berperilaku spekulatif dalam permintaan RSS. Hal
yang demikian ini memberikan kosekuensi logis, bahwa seharusnya para
pengembang perumahan lebih memprioritaskan membangun RSS daripada RS.
Wibowo, (2004) dalam tesis nya yang berjudul Kajian Partisipasi Masyarakat
Dalam Program Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan Dan Nelayan (P2K2PN)
mengemukakan bahwa Program Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan dan
Nelayan di Kota Bandung belum memadai, untuk itu penelitian nya ditujukan
untuk mengungkapkan partisipasi masyarakat dalam P2K2PN. Hasil dari
penelitiannya adalah: pelaksanaan P2K2PN belum mencapai tujuan dalam
melibatkan masyarakat secara aktif mulai tahap perencanaan sampai pengelolaan..
Sebagian besar masyarakat kurang aktif berpartisipasi pada tahap program, hal ini
dipengaruhi oleh keterbatasan dukungan dari pelaku program yang meliputi
pemerintah, pelaksana, Fasilitator dan masyarakat.
Hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh Turua, (1992) dengan judul
Pengaruh Urbanisasi Pemukiman Penduduk Kelurahan Asano Kecamatan
Abepura“ Irja, adalah penduduk yang berasal dari desa sebagian besar
berpendidikan rendah dan bekerja di sektor pertanian. Setelah tinggal di kota, 50
% dari mereka masih bekerja di sektor yang sama yaitu pertanian dan menjadi
99
buruh dan berpenghasilan rendah. Secara umum penduduk pendatang sulit untuk
bersaing dengan cara hidup masyarakat kota. Rumah tinggal yang ditempati bila
dilihat dari segi kondisi fisik rumah tinggal dan dukungannya terhadap kesehatan
sangat memprihatinkan, amat sederhana dan kurang memenuhi syarat.
Akbar, (2001), di dalam tesis nya mengkaji sejauh mana Program P3DT
terhadap interaksi desa kota melalui 4 aspek kemudahan masyarakat di dalam: 1
melakukan pergerakan ke kota; 2 Pemasaran komoditas pertanian; 3 Memperoleh
input produksi pertanian, dan 4 memperoleh produk industri perkotaan. Hasil dari
penelitian ini membuktikan bahwa masyarakat memperoleh manfaat yang positif
dari program P3DT yang telah dilaksanakan di desa-desa tertinggal.
Tujuan dari penelitian Sunarti (2001), yang berjudul Peningkatan
Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada
Kelompok yang dituangkan ke dalam tesisnya adalah: membuat usulan dalam
upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan P2BPK
khususnya di Kota Semarang. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa Program
P2BPK kurang berhasil. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang pembangunan rumah, penghasilan yang pas-pasan, pola jam kerja yang
tidak teratur sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang. Untuk itu usulan
yang diusulkan adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga
tingkat pengendalian dalam penuh, maka masyarakat perlu diberi
pendidikan dan pelatihan tentang pembangunan perumahan, masyarakat ikut
bertanggung jawab melakukan kegiatan yang telah disepakati bersama,
masyarakat meluangkan waktunya untuk membangun rumah .
100
Dalam penelitiannya Tjitroresmi (1998) ingin mengetahui kondisi sosial
ekonomi masyarakat miskin perkampungan kumuh didalam memenuhi kebutuhan
pokok rumah tangganya.Temuannya menunjukkan bahwa pada tahun 1998, 35%
masyarakat Perkampungan kumuh di Surabaya berpendapatan di bawah Rp
150.000,- sebulan, sementara itu hanya 25% dari mereka yang pengeluarannya
dibawah Rp 150.000,-. Dengan demikian sebagian masyarakat ada yang
pengeluarannya lebih tinggi daripada pendapatannya. Kesimpulan yang ditarik
dari hasil penelitiannya mengenai masyarakat miskin adalah adanya beberapa tipe
orang miskin; yaitu 1. orang yang miskin karena memang serba kekurangan atau
menderita kemiskinan sejak muda sampai tua. 2. Orang yang miskin secara
periodik (musiman). 3. Ada orang miskin yang pasrah pada nasib dan keadaan
karena memang setiap mencoba usaha baru selalu gagal. 4 ada juga orang yang
walaupun dalam kondisi krisis ekonomi yang cenderung menurunkan pendapatan,
mereka masih bisa bertahan hidup dengan berbagai cara dan upaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar